Rabu, 30 Maret 2016

PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT SYARIAH ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah
Di dalam kondisi masyarakat Indonesia yang beragam, dari segi suku, agama, dan ras, terdapat berbagai macam masalah yang timbul di dalamnya. Salah satu masalah yang menjadi sorotan dalam konflik-konflik yang timbul dalam masyarakat sekarang ini ialah dimana kita sering jumpai terjadinya perlangsungan pernikahan beda agama. Kontak antar masyarakat yang berbeda latar belakang ini pada kemudian hari menimbulkan adanya suatu fenomena dalam masyarakat yaitu berupa pernikahan campuran. Salah satu pernikahan campuran yang paling banyak mengundang perdebatan adalah pernikahan campuran antara pasangan yang memiliki agama yang berbeda. Masalahnya, dengan pernikahan beda agama akan terjadi suatu perbedaan prinsipil dalam pernikahan itu sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan berbagai masalah yang rumit untuk diselesaikan dikemudian hari. Oleh karena itu, kemudian hal itu banyak mendapat tantangan dari masyarakat luas, tetapi juga oleh hukum positif di Negara kita serta hukum agama yang mereka anut. Walau tidak dapat dipungkiri ada saja pihak yang pro terhadap keberadaan pernikahan beda agama ini.
Q.S. al-Rum : 21. Menjelaskan bahwa pernikahan yang ideal adalah pernikahan seorang suami dan isteri yang sakinah, dan satu tujuan, saling cinta dan ketulusan hati. Sehingga kehidupan suami isteri akan tentram, penuh cinta dan kasih sayang, keluarga akan bahagia, anak-anak akan sejahtera, hingga akhirnya terwujud tujuan pernikahan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah dan warohmah.
Dalam pandangan fiqih, pernikahan yang ideal adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan pria dan wanita yang sekufu (sepakat), sehingga tercipta keluarga sakinah, mawadah, warohmah. Keluaraga yang demikian akan diselimuti oleh rasa tentram dan penuh cinta kasih sayang. Pernikahan seperti itu akan terjadi jika suami istri berpegang pada agama yang sama, keduanya beragama islam dan menjalankan syariat islam.
Kemungkinan terjadinya nikah beda agama biasanya di beberapa Negara yang heterogen dan majemuk, seperti bangsa Indonesia, terutama bila dilihat dari segi etnis, suku bangsa, dan agama mempunyai potensi munculnya nikah beda agama. konsekuensinya adalah perbedaan kepercayaan, cara pandang hidup dan berinteraksi antar sesama warga. Sehingga banyak seorang  muslim berinteraksi terhadap orang non-muslim. Kemudian terjadi interaksi dan memunculkan ketertarikan antara pria dan wanita yng berbeda agama.
Salah satu persoalan dalam hubungan antar umat beragama ini adalah masalah pernikahaan muslim dengan non muslim yang disebut dengan nikah beda agama. Persoalan ini menimbulkan perbedaan pendapat dari dua belah pihak yang pro dan kontra. Masing-masing pihak memiliki dasar hukum berupa dalil maupun argument rasional yang berasal dari penafsiran mereka masing-masing terhadap dalil-dalil islam tentang pernikahan beda agama.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas pada pembahasan tentang pernikahan beda agama antara lain adalah:
1.  Apa pengertian Pernikahan beda agama?
2.  Apa hukum, tujuan, rukun dan syarat Pernikahan?
3.  Bagaimana pembagian pernikahan beda agama serta hukumnya?
4.  Bagaimana dampak pernikahan beda agama?
5.  Bagaimana pernikahan beda agama menurut UU perkawinan no.1 th 1974, Fatwa MUI dan Kompilasi Hukum Islam?
6.  Bagaimana Peranan Pemerintah untuk Menanggulangi Permasalahan Pernikahan Beda Agama?

1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan uraian latar belakang masalah dan rumusan masalah sebagaimana dikemukakan tersebut, maka tujuan penelitian ini yaitu:
1.  untuk mengetahui definisi pernikahan beda agama serta hukumnya
2.  untuk mengetahui hukum tentang pernikahan beda agama menurut syariat islam
3.  untuk mengetahui peranan pemerintah dalam mengatasi permasalahan tentang pernikahan beda agama yang terjadi di kalangan masyarakat

1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat yang dapat di ambil dari penelitian ini adalah  masyarakat dapat mengetahui hukum-hukum pernikahan yang menyangkut perbedaan agama dengan jelas agar nantinya tidak melakukan  perbuatan ini karena dianggap tidak sesuai dengan syariat islam maupun hukum di Indonesia.








BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep dan Pengertian Pernikahan Beda Agama
Secara etimologi, pernikahan berarti “persetubuhan”. Ada pula yang mengartikannya “perjanjian” (al-Aqdu). Secara terminology pernikahan menurut Abu Hanifah adalah “Aqad yang dikukuhkan untuk memperoleh kenikmatan dari seorang wanita yang dilakukan dengan sengaja”.
Pengukuhan disini maksudnya adalah sesuatu pengukuhan yang sesuai dengan ketepatan pembuatan syari’ah, bukan sekedar pengukuhan yang dilakukan oleh dua orang yang saling membuat aqad (perjanjian) yang bertujuan hanya sekedar untuk mendapatkan kenikmatan semata.
       Menurut Muhammad Abu Israh adalah akat yang memberikan faidah hukum kebolehan dalam mengadakan hubungan keluarga (suami-istri) antara pria dan wanita, serta mengadakan tolong menolong dan member batas hak bagi pemiliknya, serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing.
       Menurut jumhur ulama’ nikah adalah akat yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin dengan lafadz nikah atau ziwaj atau yang semakna dengan keduanya.
Menurut mazhab Maliki, pernikahan adalah “Aqad yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan dari wanita”. Dengan aqad tersebut seseorang akan terhindar dari perbuatan haram (zina). Menurut mazhab Syafi’i pernikahan adalah “Aqad yang menjamin diperbolehkan persetubuhan”. Sedang menurut mazhab Hambali adalah “Aqad yang di dalamnya terdapat lafazh pernikahan secara jelas, agar diperbolehkan bercampur”.
Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri denagn tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pernikahan beda agama pada dasarnya berarti pernikahan yang dilangsungkan antar pasangan yang berbeda agama satu sama lain. Pernikahan bernuansa keragaman ini banyak terjadi didalam kehidupan bermasyarakat.
Persoalan nikah beda agama dalam konteks Negara Indonesia adalah persoalan hukum. Sementara tafsiran agama-agama tentang pernikahan antara penganut agama bersangkutan dengan penganut agama lain adalah persoalan teologis dan tafsir-tafsir keagamaan.
Yang dimaksud dengan nikah beda agama adalah pernikahan yang dilakukan oleh seorang pria dan wanita yang beda agama. Yaitu pernikahan antara laki-laki non muslim dengan wanita muslimah, dan pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita non muslim.
2.2. Hukum, Tujuan, Rukun dan Syarat Pernikahan
2.2.1 Hukum Pernikahan
     Dengan melihat kepada hakikat pernikahan itu merupakan akad yang membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal dari pernikahan itu adalah boleh atau mubah. Namun dengan melihat kepada sifatnya sebagai sunnah Allah dan sunnah Rasul, tentu tidak mungkin dikatakan bahwa hukum asal pernikahan itu hanya semata mubah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa melangsungkan akad pernikahan disuruh oleh agama dan dengan telah berlangsungnya akad pernikahan itu, maka pergaulan laki-laki dengan perempuan menjadi mubah.
     Pernikahan adalah suatu perbuatan yang disuruh oleh Allah dan juga disuruh oleh Nabi. Banyak suruhan-suruhan Allah dalam Al-quran untuk melaksanakan perkawinan. Diantaranya firman-Nya dalam surat An-Nur ayat 32:

 وَ أَنْكِحُوا الْأَيامى‏ مِنْكُمْ وَالصَّالِحينَ مِنْ عِبادِكُمْ وَ إِمائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَراءَيُغْنِهِمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ وَ اللهُ واسِعٌ عَليمٌ
Artinya: “Dan kawinkanlah  orang –orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak (untuk kawin) diantara hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan kurnia-Nya.”

     Begitu banyak pula suruhan Nabi kepada umatnya untuk melakukan perrkawinan. Diantaranya seperti dalam hadits Nabi dari Anas bin Malik menurut riwayat Ahmad dan disahkan oleh Ibnu Hibban, sabda Nabi yang bunyinya:

Kawinilah perempuan-perempuan yang dicintai yang subur, karena sesungguhnya aku akan berbangga karena banyak kawin dihari kiamat.”

Dari begitu banyaknya suruhan Allah dan Nabi untuk melaksanakan pernikahan itu, maka pernikahan itu adalah perbuatan yang lebih disenangi Allah dan Nabi untuk dilakukan. Namun suruhan Allah dan Rasul untuk melangsungkan pernikahan itu tidaklah berlaku secara mutlak tanpa persyaratan. Persyaratan untuk melangsungkan perkawinan itu terdapat dalam hadits Nabi dari Abdullah bin Mas’ud Muttafaq alaih yang bunyinya:

“Wahai para pemuda, siapa diantaramu telah mempunyai kemampuan dari segi “al-baah” hendaklah ia kawin, karena perkawinan itu lebih menutup mata dari penglihatan yang tidak baik dan lebih menjaga kehormatan. Bila ia tidak mampu untuk kawin hendaklah ia berpuasa; karena puasa itu baginya pengekang hawa nafsu.”

     Kata-kata al-baah mengandung arti kemampuan melakukan hubungan kelamin dan kemampuan dalam biaya hidup pernikahan. Kedua hal ini merupakan persyaratan pernikahan. Pembicaraan tentang hukum asal dari suatu pernikahan yang diperbincangkan dikalangan ulama berkaitan dengan telah dipenuhinya persyaratan tersebut.
     Dalam hal menetapkan hukum asal suatu pernikahan terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum perkawinan itu adalah sunnah. Dasar hukum dari pendapat jumhur ulama ini adalah begitu banyaknya suruhan Allah dalam Al-Quran dan suruhan Nabi dalam sunnahnya untuk melangsungkan pernikahan. Namun suruhan dalam Al-Quran dan sunnah tersebut tidakmengandung arti wajib. Tidak wajibnya pernikahan itu karena tidak ditemukan dalam ayat Al-Quran atau sunnah Nabi yang secara tegas memberikan ancaman kepada orang yang menolak perkawinan. Meskipun da sabda Nabi yang mengatakan: “siapa yang tidak mengakui sunnahku tidak termasuk dalam kelompokku” namun yang demikian tidak kuat untuk menetapkan hukum wajib.
     Golongan ulama yang berbeda pendapat dengan jumhur ulama itu adalah golongan Zhahiriyah yang mengatakan hukum perkawinan bagi orang yang mampu melakukan hubungan kelamin dan biaya perkawinan adalah wajib atau fardhu.
     (Ibn Hazm IX, 440) Dasar dari pendapat ulama Zhahiriyah ini adalah perintah Allah dan Rasul yang begitu banyak untuk melangsungkan pernikahan. Perintah atau al-amr itu adalah untuk wajib selama tidak ditemukan dalil yang jelas yang memalingkannya dari hukum asal itu. Bahkan adanya ancaman Nabi bagi orang yang tidak mau kawin dalam beberapa hadits menguatkan pendapat golongan ini.
     Hukum asal menurut dua golongan ulama tersebut diatas berlaku secara umum dengan tidak memerhatikan keadaan tertentu dan orang tertentu. Namun karena ada tujuan mulia yang hendak dicapai dari pernikahan itu dan yang melakukan pernikahan itu berbeda pula kondisinya serta situasi yang melingkupi suasana pernikahan itu berbeda-beda. Dalam merinci hukum menurut perbedaan keadaan dan orang tertentu itu berbeda pula pandangan ulama. Ulama Syafi’iyah secara rinci menyatakan hukum pernikahan itu dengan melihat keadaan orang-orang tertentu, sebagai berikut: 
1.  Sunnah, yaitu bagi orang-orang yang telah berkeinginan untuk menikah, telah pantas untuk menikah dan dia telah mempunyai perlengkapan untuk melangsungkan pernikahan tetapi masih mampu menahan dirinya dari godaan yang menjurus kepada perzinaan.
2.  Makruh, yaitu bagi orang-orang yang belum pantas untuk menikah, belum berkeinginan untuk menikah, sedangkan perbekalan untuk pernikahan juga belum ada. Begitu pula ia telah mempunyai perlengkapan untuk pernikahan, namun fisiknya mengalami cacat.

Ulama Hanafiyah menambahkan hukum secara khusus bagi keadaan dan orang tertentu sebagai berikut.
1. Wajib, yaitu bagi orang-orang yang telah pantas untuk menikah, berkeinginan untuk menikah dan memiliki perlengkapan untuk pernikahan; ia takut akan terjerumus berbuat zina kalau ia tidak menikah.
2.  Makruh, yaitu bagi orang yang pada dasarnya mampu melakukan perkawinan namun ia merasaakan berbuat curang dalam perkawinannya itu (Ibn Humam III, 187)

Ulama lain menambahkan hukum pernikahan secara khusus untuk keadaan dua orang tertentu sebagai berikut:
1.  Haram, yaitu bagi orang-orang yang tidak akan dapat memenuhi ketentuan syara’ untuk melakukan pernikahan atau ia yakin perkawinan itu tidak akan mencapai tujuan syara’, sedangkan dia meyakini pernikahan itu akan merusak kehidupan pasangannya.
2.  Mubah, yaitu bagi orang-orang yang pada dasarnya belum ada dorongan untuk menikah dan pernikahan itu tidak akan mendatangkan kemudaratan apa-apa kepada siapapun.

2.2.2 Tujuan Pernikahan
 Secara umum tujuan pernikahan menurut Islam adalah untuk memenuhi hajat manusia (pria terhadap wanita atau sebaliknya) dalam rangka mewujudkan rumah tangga yang bahagia, sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama Islam. Secara umum tujuan pernikahan dalam Islam dalam diuraikan sebagai berikut:

1. Untuk memperoleh kebahagiaan dan ketenangan hidup (sakinah). Ketentraman dan kebahagiaan adalah idaman setiap orang. Nikah merupakan salah satu cara supaya hidup menjadi bahagia  dan tentram. Allah SWT berfirmanYang Artinya :” Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. “.(Ar-Rum : 21)  

2.  Membina rasa cinta dan kasih sayang. Nikah merupakan salah satu cara untuk membina kasih sayang antara  suami, istri dan anak. ( lihat QS. Ar- Rum : 21 yang Artinya :”Dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. “)  

3.   Untuk memenuhi kebutuhan seksual yang syah dan diridhai Allah SWT.

4.  Melaksanakan Perintah Allah swt. Karena melaksanakan perintah Allah swt maka menikah akan dicatat sebagai ibadah.  Allah swt., berfirman yang Artinya :" Maka nikahilah perempuan-perempuan yang kamu sukai". (An-Nisa' : 3)

5.  Mengikuti Sunah Rasulullah saw. Rasulullah saw., mencela orang yang hidup membujang dan beliau menganjurkan umatnya untuk menikah. Sebagaimana sabda beliau dalam haditsnya:

( أَلنِّكَاحُ سُنَّتِى فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى ( رواه البخارى و مسلم          

Artinya:"Nikah itu adalah sunahku, barang  siapa  tidak  senang  dengan  sunahku, maka bukan golonganku". (HR. Bukhori dan Muslim)

6.  Untuk  memperoleh keturunan yang syah.
Allah swt., berfirman yang Artinya :” Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia “. (Al-Kahfi : 46)

      Sebelum pernikahan berlangsung dalam agama Islam tidak mengenal istilah pacaran akan tetapi dikenal dengan nama “khitbah”. Khitbah atau peminangan adalah penyampaian maksud atau permintaan dari seorang pria terhadap seorang wanita untuk dijadikan istrinya baik secara langsung oleh si peminang atau oleh orang lain yang  mewakilinya. Yang diperbolehkan selama khitbah, seorang pria hanya boleh melihat muka dan telapak tangan. Wanita yang dipinang berhak menerima pinangan itu dan berhak pula menolaknya. Apabila pinangan diterima, berarti antara yang dipinang dengan yang meminang telah terjadi ikatan janji untuk melakukan pernikahan. Semenjak diterimanya pinangan sampai dengan berlangsungnya pernikahan disebut dengan masa pertunangan. Pada masa pertungan ini biasanya seorang peminang atau calon suami memberikan suatu barang kepada yang dipinang (calon istri) sebagai tanda ikatan cinta yang dalam adat istilah Jawa disebut dengan peningset.
      Hal yang perlu disadari oleh pihak-pihak yang bertunangan adalah selama masa pertunangan, mereka tidak boleh bergaul sebagaimana suami istri karena mereka belum syah dan belum terikat oleh tali pernikahan. Larangan-larang agama yang berlaku  dalam hubungan pria dan wanita yang bukan muhrim berlaku pula bagi mereka yang berada dalam masa pertunangan.
Adapun wanita-wanita yang haram dipinang dibagi menjadi 2 kelolmpok yaitu :
Ø Yang haram dipinang dengan cara sindiran dan terus terang adalah wanita yang termasuk muhrim, wanita yang masih bersuami,wanita yang berada dalam masa iddah talak roj’i dan wanita yang sudah bertunangan.
Ø  Yang haram dipinang dengan cara terus terang, tetapi dengan cara sindiran adalah wanita yang berada dalam iddah wafat dan wanita yang dalam iddah talak bain (talak tiga).

2.2.3 Rukun Nikah Dan Syaratnya
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam hal suatu acara pernikahan umpamanya rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.
Unsur pokok suatu pernikahan adalah laki-laki dan perempuan yang akan menikah, akad pernikahan itu sendiri, wali yang melangsungkan akad dengan si suami, dua orang saksi yang menyaksikan telah berlangsungnya akad pernikahan itu. Berdasarkan pendapat ini rukun pernkahan itu secara lengkap adalah sebagai berikut:
1.   Calon Suami
2.   Calon Istri
3.   Wali Nikah
4.   Saksi Nikah
5.   Ijab
6.   Qobul

v Syarat Calon Suami, yaitu :
ü Islam
ü Lelaki yang tertentu
ü Bukan lelaki mahram dengan calon isteri
ü Mengetahui wali yang sebenarnya bagi akad nikah tersebut
ü Bukan dalam ihram haji atau umrah
ü Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
ü Tidak mempunyai empat orang isteri yang sah dalam satu masa
ü Mengetahui bahwa perempuan yang hendak dinikahi adalah sah dijadikan isteri

v Syarat calon isteri, yaitu :
ü Islam
ü Perempuan yang tertentu
ü Bukan perempuan mahram dengan calon suami
ü Bukan seorang khunsa
ü Bukan dalam ihram haji atau umrah
ü Tidak dalam masa iddah
ü Bukan isteri orang

v Syarat Wali Nikah, yaitu :
ü Islam, bukan kafir dan murtad
ü Laki-laki Baligh
ü Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
ü Bukan dalam ihram haji atau umrah
ü Tidak fasik
ü Tidak cacat akal fikiran,gila, terlalu tua dan sebagainya
ü Merdeka
ü Tidak ditahan kuasanya daripada membelanjakan hartanya

v Syarat saksi nikah, yaitu :
ü Sekurang-kurangya dua orang
ü Islam
ü Berakal
ü Baligh
ü Laki-laki
ü Memahami isi lafal ijab dan qobul
ü Dapat mendengar, melihat dan berbicara
ü Adil (Tidak melakukan dosa-dosa besar dan tidak terlalu banyak melakukan dosa-dosa kecil)
ü Merdeka

v Syarat ijab, yaitu :
ü Pernikahan nikah ini hendaklah tepat
ü Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran
ü Diucapkan oleh wali atau wakilnya
ü Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mutaah (nikah kontrak atau pernikahan yang sah dalam tempo tertentu seperti yang dijanjikan dalam persetujuan nikah mutaah)
ü Tidak secara taklik (tidak ada sebutan prasyarat sewaktu ijab dilafalkan)

v Syarat qobul, yaitu :
ü Ucapan mestilah sesuai dengan ucapan ijab
ü Tidak ada perkataan sindiran
ü Dilafalkan oleh calon suami atau wakilnya (atas sebab-sebab tertentu)
ü Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mutaah (seperti nikah kontrak)
ü Tidak secara taklik (tidak ada sebutan prasyarat sewaktu qobul dilafalkan)
ü Menyebut nama calon istri
ü Tidak ditambahkan dengan perkataan lain

-   Contoh  Ijab : Wali perempuan berkata kepada pengantin laki-laki : "Aku nikahkan anak perempuan saya bernama si Fulan binti ……  dengan .......  dengan mas kawin seperangkat sholat dan 30 juz dari mushaf Al-Qur’an".

أَنْكَحْتُكَ وَزَوَّجْتُكِ فُلاَنَة بِنْتِ ... بِمَهْرِ عَدَوَاتِ الصَّلاَةِ وَثَلاَثِيْنَ جُزْأً مِنْ مُصْحَافِ الْقُرْاَنِ حَالاً

-   Contoh Qobul : Calon suami menjawab: "Saya terima nikah dan perjodohannya dengan diri saya denganmas kawin tersebut di depan". Bila dilafalkan dengan bahasa arab sebagai berikut : 
                                                                                                    
قَبِلْتُ نِكَحَهَا وَتَزْوِجَهَا لِنَفْسِى بِالْمَهْرِ الْمَذْكُوْرِ 
-   Perempuan yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya tidak syah. Rasulullah saw, bersabda : Artinya :"Perempuan mana saja yang menikah tanpa  seizin walinya maka pernikahan itu batal (tidak syah)". (HR. Empat Ahli Hadits kecuali Nasai).

Saksi harus benar-benar adil. Rasulullah saw.,  bersabda :

( لاَنِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَى عَدْلٍ ( روه احمد 

 Artinya:"Tidak syah nikah seseorang melainkan dengan  wali dan 2 orang saksi yang adil". (HR. Ahmad)

      Setelah selesai aqad  nikah biasanya diadakan walimah, yaitu pesta pernikahan. Hukum mengadakan walimah adalah sunat muakkad.
Rasulullah SAW bersabda :
”Orang yang sengaja tidak mengabulkan undangan berarti durhaka kepada Allah dan RasulNya.” (HR. Bukhori)

2.3 Pembagian Pernikahan Beda Agama Dalam Islam
Ada 3 kategroi nikah beda agama: pertama, pria muslim menikah dengan wanita Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). Kedua, Pria muslim menikah dengan wanita Musyrik. Ketiga, Wanita muslimah menikah dengan pria Non Muslim.. Yang pertama boleh dan status nikahnya sah. Sedang dalam kasus kedua dan ketiga adalah haram atau tidak boleh. Dan status pernikahannya tidak sah.

2.3.1 Laki-Laki Muslim Menikahi Wanita Nasrani Dan Yahudi (Ahlul Kitab) 
Diperbolehkan pria muslim menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) selama wanita tersebut adalah wanita yang selalu menjaga kehormatannya serta tidak merusak agama si suami dan anak-anaknya. Allah berfirman dalam  QS Al-Maidah 5:5
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌِ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.”
Dalam QS 5:5 di atas Allah mensyaratkan bolehnya menikahi wanita Nasrani haruslah wanita yang baik-baik, bukan wanita nakal.
Sebagian Sahabat Nabi juga menikahi wanita ahlul kitab (Yahudi/Nasrani) seperti Utsman bin Affan dan Talhah bin Ubaidillah yang menikah dengan wanita Nasrani dan Hudzaifah yang menikahi wanita Yahudi
Jika memang laki-laki muslim boleh menikah dengan wanita ahli kitab, maka pernikahan tentu saja bukan di gereja. Dan juga ketika memiliki anak, anak bukanlah diberi kebebasan memilih agama. Anak harus mengikuti agama ayahnya yaitu Islam.
Sedangkan selain ahli kitab (seperti Hindu, Budha, Konghucu) yang disebut wanita musyrik, haram untuk dinikahi. Hal ini berdasarkan kesepakatan para fuqoha. Dasarnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَلاَ تَنكِحُواْ الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (QS. Al Baqarah: 221)
Menurut para ulama, laki-laki muslim sama sekali tidak boleh menikahi wanita yang murtad meskipun ia masuk agama Nashrani atau Yahudi kecuali jika wanita tersebut mau masuk kembali pada Islam.

Wali Nikah Calon Mempelai Wanita Nasrani (Kristen/Katolik)
Menurut madzhab Hanafi, Syafi'i dan Hanbali, sah pernikahan wanita Nasrani yang menikah dengan lelaki muslim yang dinikahkan oleh ayahnya yang beragama Nasrani. Seperti yang dikutip oleh Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni berikut:

إذا تزوج المسلم ذمية فوليها الكافر يزوجها إياه ذكره أبو الخطاب وهو قول أبو حنيفة والشافعي لأنه وليها فصح تزويجه لها كما لو زوجها كافراً

Apabila, wali yang ada menolak, maka kekuasaan untuk menikahkan berpindah pada Wali Hakim yaitu pegawai KUA, naib desa, atau  ulama/kyai atau siapa saja yang dianggap adil Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni mengatakan:

فإن لم يوجد للمرأة ولي ولا ذو سلطان ، فعن أحمد ما يدل على أنه يزوجها رجل عدل بإذنها
Artinya: Apabila calon mempelai wanita tidak ada wali (nasab) dan tidak ada wali hakim, maka seorang laki-laki yang adil boleh menikahkannya atas seijin wanita tersebut.
2.3.2 Laki-laki Muslim Menikahi Wanita Musyrik
Adapun dasar hukumnya yaitu Al-Quran Al-Baqarah(2):221

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”

Di dalam ayat ini ditegaskan oleh Allah swt. larangan bagi seorang muslim mengawini perempuan-perempuan musyrik dan larangan mengawinkan perempuan mukmin dengan laki-laki musyrik, kecuali kalau mereka telah beriman. Walaupun mereka itu cantik dan rupawan, gagah, kaya dan sebagainya. Budak perempuan yang mukmin atau budak laki-laki yang mukmin, lebih baik untuk dikawini daripada mengawini orang musyrik itu. Dan pihak perempuan-perempuan yang beriman tidak sedikit pula jumlahnya yang cantik-cantik, menarik hati, lagi beriman dan berakhlak.
Allah memerintahkan mengawini seorang perempuan bukan saja karena cantik, banyak harta kekayaannya dan tinggi kedudukannya, tapi yang ialah iman dan akhlaknya.
Dalam sebuah hadis Rasulullah saw. bersabda:
لا تنكحوا النساء لحسنهن فعسي حسنهن أن يرديهن ولا تنكحوهن علي أموالهن فعسي أموالهن أن تطغيهن و انكحوهن علي الدين فلأمة سوداء ذات دين أفضل
 “Jangan kamu mengawini perempuan karena kecantikannya, mungkin kecantikan itu akan membinasakan, janganlah kamu mengawini mereka karena harta kekayaannya mungkin harta kekayaan itu akan menyebabkan mereka durhaka dan keras kepala. Tetapi kawinilah mereka karena agamanya (iman dan akhlaknya). Budak perempuan yang hitam, tetapi beragama, lebih baik dari mereka yang tersebut di atas. “ (HR Ibnu Majah dari Abdullah bin ‘Amr)

Dan hadis lain Rasulullah saw. bersabda:
تنكح المرأة لأربع : لمالها و لحسبها و لجمالها و لدينها فاظفر بذات الدين تربت يداك
Perempuan itu dikawini karena 4 hal, yaitu: karena hartanya, karena kebangsawanannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Pilihlah perempuan yang beragama, engkau akan beruntung.”  (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Perkawinan, erat hubungannya dengan agama. Orang musyrik bukan orang beragama. Mereka menyembah selain Allah. Di dalam soal perkawinan dengan orang musyrik ada batas tembok yang kuat, tetapi dalam soal pergaulan bermasyarakat itu biasa saja. Sebab perkawinan, erat hubungannya dengan keturunan dan keturunan erat hubungannya dengan harta pusaka, berhubungan dengan makan dan minum dan ada hubungannya dengan pendidikan dan pembangunan Islam.
Perkawinan dengan orang musyrik dianggap membahayakan seperti diterangkan di atas, maka tegas-tegas Allah melarang mengadakan hubungan perkawinan dengan mereka. Golongan orang musyrik itu akan selalu menjerumuskan  umat Islam ke dalam  bahaya di dunia, dan  menjerumuskannya ke dalam neraka di akhirat, sedang ajaran-ajaran Allah kepada orang-orang mukmin selalu membawa kepada kebahagiaan dunia dan masuk surga di akhirat.
Ayat-ayat seperti ini diturunkan Allah kepada manusia supaya mereka selalu ingat, jangan lalai dan lengah, sebab bahayanya besar, bila tidak lagi berjalan di atas rel yang benar yang telah ditetapkan Allah dalam syariat-Nya.

2.3.3 Pernikahan Laki-laki Non-Muslim dengan Wanita muslimah
Tentang status pernikahan wanita muslimah dan pria non muslim disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka (wanita mukmin) kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka (wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. (QS. Al Mumtahanah: 10)
Berdasarkan pemahaman ayat diatas, sangat jelas bahwa tidak boleh wanita muslim menikah dengan pria non muslim (agama apa pun itu).
Berikut pandangan dari para ulama mengenai pernikahan laki-laki non muslim dengan wanita muslimah:
Al Qurthubi rahimahullah mengatakan,
وأجمعت الامة على أن المشرك لا يطأ المؤمنة بوجه، لما في ذلك من الغضاضة على الاسلام.
“Para ulama kaum muslimin telah sepakat tidak bolehnya pria musyrik (non muslim) menikahi (menyetubuhi) wanita muslimah apa pun alasannya. Karena hal ini sama saja merendahkan martabat Islam.”
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,
هذه الآية هي التي حَرّمَت المسلمات على المشركين
“Ayat ini (surat Al Mumtahanah ayat 10) menunjukkan haramnya wanita muslimah menikah dengan laki-laki musyrik (non muslim)”.
Asy Syaukani rahimahullah dalam kitab tafsirnya mengatakan,
وفيه دليل على أن المؤمنة لا تحلّ لكافر ، وأن إسلام المرأة يوجب فرقتها من زوجها لا مجرّد هجرتها
“Ayat ini (surat Al Mumtahanah ayat 10) merupakan dalil bahwa wanita muslimah tidaklah halal bagi orang kafir (non muslim). Keislaman wanita tersebut mengharuskan ia untuk berpisah dari suaminya dan tidak hanya berpindah tempat (hijrah)”.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah mengatakan,
وكما أن المسلمة لا تحل للكافر، فكذلك الكافرة لا تحل للمسلم أن يمسكها ما دامت على كفرها، غير أهل الكتاب،
“Sebagaimana wanita muslimah tidak halal bagi laki-laki kafir, begitu pula wanita kafir tidak halal bagi laki-laki muslim untuk menahannya dalam kekafirannya, kecuali diizinkan wanita ahli kitab (dinikahkan dengan pria muslim).”
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
“Orang kafir (non muslim) tidaklah halal menikahi wanita muslimah”. Hal ini berdasarkan nash (dalil tegas) dan ijma’ (kesepakatan ulama).
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka (wanita mukmin) kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka (wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.”
Wanita muslimah sama sekali tidak halal bagi orang kafir (non muslim) sebagaimana disebutkan sebelumnya, meskipun kafirnya adalah kafir tulen (bukan orang yang murtad dari Islam). Oleh karena itu, jika ada wanita muslimah menikah dengan pria non muslim, maka nikahnya batil (tidak sah).
Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim hafizhohullah dalam Kitab Adhwaul Bayan (yang di mana beliau menyempurnakan tulisan gurunya , Syaikh Asy Syinqithi), memberi alasan kenapa wanita muslimah tidak dibolehkan menikahi pria non muslim, namun dibolehkan jika pria muslim menikahi wanita ahli kitab. Di antara alasan yang beliau kemukakan: Islam itu tinggi dan tidak mungkin ditundukkan agama yang lain. Sedangkan keluarga tentu saja dipimpin oleh laki-laki. Sehingga suami pun bisa memberi pengaruh agama kepada si istri. Begitu pula anak-anak kelak harus mengikuti ayahnya dalam hal agama.Dengan alasan inilah wanita muslimah tidak boleh menikah dengan pria non muslim.
Sehingga kemudian pilihan yang sering dianggap terbaik adalah meminta pria non-muslim tersebut untuk menjadi muslim terlebih dahulu untuk memenuhi syarat sah pernikahan sesuai Hukum Islam. Jika pria non-muslim tersebut bersedia, maka pernikahan dapat dilangsungkan, namun jika ia tidak bersedia, maka pernikahan tidak dapat dilangsungkan. Akan tetapi, apa yang akan terjadi apabila di kemudian hari si pria non-muslim itu kembali kepada keyakinannya semula alias MURTAD (keluar dari Islam) setelah pernikahan tersebut berlangsung? Fenomena ini sering terjadi karena pada dasarnya ia memeluk Islam bukan karena mendapatkan hidayah atau menemukan kebenaran Islam, melainkan karena ingin mendapatkan wanita muslim tersebut. Apabila yang terjadi adalah demikian maka pernikahan tersebut dalam Hukum Islam dianggap BATAL.
Ada tiga pendapat terkait waktu batalnya pernikahan akibat murtadnya suami (yang menyebabkan antara suami isteri menjadi berbeda agama), yaitu :
Pendapat pertama : Pernikahan menjadi batal seketika itu juga, baik sebelum atau sesudah bersetubuh. Ini adalah pendapat madzhab Hanafiyah, Malikiyahdan salah satu dari dua riwayat yang ada dari Ahmad. Pendapat ini diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri, Umar bin Abdul Aziz, Ats-Tsauri, Abu Nur dan Ibnu Al-Mundzir. Penjelasan untuk Pendapat Pertama : Orang yang murtad diqiyaskan kepada orang yang mati, karena murtad merupakan sebab buruk yang ada pada dirinya, sedangkan orang yang mati bukanlah obyek untuk dinikahi. Oleh karena itu, tidak boleh menikahi orang yang murtad sejak zaman dahulu, dan selanjutnya ketentuan tersebut akan tetap demikian.
Pendapat Kedua : Apabila murtadnya sebelum melakukan persetubuhan, maka pernikahan tersebut batal seketika itu juga. Namun apabila murtadnya setelah melakukan persetubuhan, maka pembatalan pernikahannya ditangguhkan hingga masa iddahnya habis. Jika orang yang murtad itu kembali masuk Islam sebelum masa iddahnya habis, maka dia tetap pada status pernikahannya. Dan jika dia masuk Islam setelah masa iddahnya habis, maka antara keduanya telah dinyatakan cerai sejak dia murtad. Pendapat ini dianut oleh madzhab Syafiiyah dan Hanbaliyah dalam sebuah riwayat yang masyhur dari mereka.
Penjelasan untuk Pendapat Kedua :
Firman Allah SWT :
Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir [Al-Mumtahanah : 10]
Sebab, murtad merupakan perbedaan agama, yang dapat menghalangi untuk mendapatkan dirinya, sehingga pernikahan pun menjadi batal. Hal ini sebagaimana jika seorang istri masuk Islam, sementara dirinya berstatus sebagai istri dari suami yang kafir. Adapun jika murtadnya setelah melakukan persetubuhan, maka pembatalan pernikahannya ditangguhkan sampai masa iddahnya habis. Dalam menentukan yang demikian itu, mereka berdalil dengan qiyas. Mereka berkata : Sesungguhnya salah seorang dari pasangan suami-istri yang murtad atau berbeda agama setelah melakukan persetubuhan, maka pernikahannya tidak harus menjadi batal pada saat itu juga. Hal ini sebagaimana jika salah seorang dari suami-istri yang sah masuk Islam.
Pendapat Ketiga : Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim, apabila salah seorang dari pasangan suami-istri murtad, maka pernikahannya harus dibekukan. Apabila dia kembali masuk Islam, maka pernikahannya sah lagi, baik dia masuk Islam sebelum bersetubuh atau setelahnya, baik dia masuk Islam sebelum masa iddahnya habis atau sesudah masa iddahnya habis.
Penjelasan untuk Pendapat Ketiga :
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam rangka mejelaskan bahwa hukum Islam apabila salah seorang dari suami-istri murtad, maka pernikahan keduanya harus dibekukan : Demikian pula masalah murtad, pendapat yang menyatakan harus segera diceraikan adalah menyelisihi sunnah yang telah dicontohkan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Sebab pada masa beliau, banyak pula manusia yang murtad. Di antara mereka ada yang istrinya tidak ikut murtad. Kemudian, mereka kembali masuk Islam lagi, dan istri-istri mereka pun kembali lagi kepada mereka. Tidak pernah diketahui bahwa ada seorangpun dari mereka yang disuruh memperbaharui pernikahannya. Padahal, sudah pasti bahwa di antara mereka ada yang masuk Islam setelah sekian lama, melebihi masa iddah. Demikian pula, sudah pasti bahwa mayoritas dari istri-istri mereka yang tidak murtad tersebut, namun Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menanyakan secara mendetail kepada seorang pun dari suami-suami yang murtad, apakah ia masuk Islam setelah masa iddah istrinya habis atau sebelumnya. Secara umum, pendapat mayoritas untuk masalah ini adalah : Apabila suami MURTAD (kembali ke agama asal), maka pernikahan menjadi batal demi hukum yang dalam istilah fiqih disebut fasakh (arti literal, rusak). Ini adalah pendapat dari mayoritas pakar syariah madzhab yang empat yaitu madzhab Syafi'i, Hanafi, Hambali. Artinya, tidak ada hubungan pernikahan lagi antara suami dan isteri. Dan hubungan intim setelah itu dianggap zina. Sedangkan menurut madzhab Maliki, suami murtad akan berakibat istri tertalak tiga secara otomatis. Beda antara talak dan fasakh adalah fasakh berakibat putusnya pernikahan sama sekali dengan tidak ada masa iddah bagi istri. Sedangkan talak berarti putusnya pernikahan dengan adanya masa iddah bagi istri.
·      Imam Nawawi dari madzhab Syafi'i menyatakan dalam kitab Al-Minhaj
“Apabila nikah batal (fasakh) karena sebab murtad setelah terjadinya hubungan intim maka istri berhak mendapat mahar atau maskawin (kalau mahar belum dibayar). Perpisahan suami-istri karena murtad disebut fasakh.”
·      Al-Ibadi dari madzhab Hanafi mengatakan dalam kitab Mukhtashar Al-Qaduri
Apabila salah satu suami-istri murtad dari Islam maka terjadikan perpisahan (firqah) yang bukan talak. Menurut Abu Yusuf, apabila yang murtad itu suami maka disebut talak.
· Dalam kitab Daurul Hukkam madzhab Hanafi juga dikatakan,
“Murtadnya salah satu suami-istri membatalkan nikah secara otomatis tanpa perlu keputusan hukum pengadilan.”
·      Ibnu Qudamah dari madzhab Hanbali menyatakan dalam kitab Al-Muqni'
“Apabila salah satu suami-istri murtad (keluar dari Islam) sebelum dukhul (hubungan intim) maka nikahnya batal (fasakh) dan istri tidak berhak atas mahar apabila istri yang murtad, sedangkan apabila suami yang murtad maka istri berhak mendapat separuh mahar. “

2.4 Dampak Pernikahan Beda Agama
Perkawinan bedaagama merupakan fakta yang terjadi oleh segelintir orang yang mengusung teologi lintas agama dan kebebasan hak asasi manusia. Dari beberapa kasus yang terjadi perkawinan beda agama selalu menyisakan konflik dalam keluarga, jika anggota keluarganya melangsungkan perkawinan dengan pasangan beda agama. Orang tua dari pemeluk agama manapun akan resah dan menolak perjodohan anaknya dengan pasangan berbeda agama. Jika terjadi perkawinan beda agama maka terjadi konflik kepentingan dalam pengasuhan anak, orang tua yang beragama Islam memiliki kewajiban mendidik anaknya secara Islam begitu pun sebaliknya yang non muslim.
Perkawinan beda agama juga menyisakan persoalan administrasi yang merugikan pelaku nikah beda agama. Meskipun ada lembaga yang bertindak sebagai “KUA swasta” menikahkan pasangan beda agama, tetap saja bukti nikahnya tidak dapat dicatat di KUA Kecamatan. Ketahuilah bahwa perkawinan merupakan lembaga suci yang disyariatkan Allah kepada manusia untuk menjadi media mempertahankan keturunan, tata caranya diatur oleh agama. Hidup kita harus tunduk pada aturan agama. Jangan kita menolak sebuah keniscayaan bahwa kita ditakdirkan menjadi manusia untuk taat dan mengikuti hukum dan aturan Tuhan. Bukan sebaliknya menggunakan isu kebebasan untuk menolak ajaran suci yang disyariatkan agama.



2.5 Pernikahan Beda Agama Menurut UU Perkawinan No.1 th 1974, Fatwa MUI dan Kompilasi Hukum Islam
2.5.1 Pernikahan Beda Agama Menurut UU Perkawinan No.1 th 1974
Dalam negara Indonesia sebagai negara kesatuan yang berdasarkan Pancasila, dimana sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan dianggap mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, sehingga perkawinan bukan saja mengandung unsur luhur tetapi juga terdapat unsur batin.
Dalam pasal 1 UU Perkawinan ditetapkan rumusan pengertian perkawinan. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Selanjutnya dalam pasal 2 (ayat 1) ditetapkan bahwa Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Dari ketentuan pasal di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada perkawinan yang dilakukan di luar hukum agama dan kepercayaannya, sebab untuk menentukan sah atau tidaknya perkawinan berdasarkan pada hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
Dengan tidak adanya ketentuan tentang perkawinan beda agama di dalam UU Perkawinan, maka sangat sulit untuk melakukan perkawinan beda agama di Indonesia karena tidak diatur dan lembaga-lembaga yang mengurusi administrasi perkawinan pun dibedakan, untuk perkawinan agama Islam lembaga yang bertugas melakukan pencatatan adalah Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk yang ada di KUA, sedang untuk perkawinan non Islam dicatat oleh Lembaga Catatan Sipil (LCS). Orang Islam yang ingin menikah tudak dapat dicatat oleh LCS begitu pun sebaliknya orang non Islam yang ingin menikah juga tidak dapat dicatat oleh Lembaga PNRT. Dan sesuai dengan Keputusan Presiden No. 12 tahun 1983 tentang penataan dan peningkatan pembinaan penyelenggaraan catatan sipil, telah meniadakan tugas penyelenggaraan perkawinan yang merupakan kewenangan Kantor Catatan Sipil. Jadi semakin menipiskan peluang untuk melakukan perkawinan beda agama, karena secara hukum tidak ada lembaga yang dapat mencatat perkawinan mereka.
Tetapi kita juga tidak dapat menghindari masalah tersebut karena negara kita sangat sangat majemuk dan terdiri dari berbagai macam suku, ras, agama ,dan budaya. Pada perkawinan beda agama semua dapat teratasi apabila ada salah satu dari calon suami isteri yang mengalah untuk mengikuti agama suami atau isteri. Dengan cara begitu perkawinan akan melibatkan 1 agama saja, sehingga memudahkan untuk melangsungkan perkawinan. Atau dengan cara salah satu pihak menundukkan diri pada hukum agama suami atau isteri, tetapi cara ini banyak mendapat sorotan dari masyarakat karena dianggap hanya tunduk pada saat acara perkawinan saja, setelah itu mereka kembali ke agama masing-masing. Ini sama saja dengan melecehkan agama, karena hanya bersifat sementara. 

2.5.2 Fatwa MUI Tentang Pernikahan Beda Agama
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah dua kali mengeluarkan fatwa tentang haramnya perkawinan beda agama.Pertama fatwa yang dikeluarkan pada 1Juni tahun1980, waktu itu MUI diketuai oleh Buya Hamka.
Fatwa yang dikeluarkan berisi:
1. Perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non muslim adalah haram hukumnya.
2.Seorang laki-laki muslim diharamkan mengawini wanita bukan muslim.
Fatwa ini mengambil dasar dari Alquran: QS.2, Al baqarah: 221, QS.5, Al maidah: 5, QS.60, Al-mumtahanah: 10, QS.66, Attahrim: 6 dan Hadits Nabi Saw.
Pernikahanmerupakan pengamalan separuh agama serta Hadits bahwa semua anak dilahirkan dalam keadaan suci, maka ibu bapaknyalah yang menjadikannya beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi”

Kedua, fatwa yang dikeluarkan pada tanggal 29 Juli tahun 2005 berisi:
1. Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.
2. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahlu kitab, menurut qaul mu’tamad adalah haram dan tidak sah.

2.5.3 Pernikahan Berbeda Agama Menurut Kompilasi Hukum Islam
Sebelum Kompilasi Hukum Islam hadir, ketentuan tentang perkawinan, telah diatur secara legal formal dalam UU No: 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. Setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka pengaturan perkawinan beda agama menjadi cenderung terhalangi. Hal ini berdasarkan alasan yakni pertama, dengan mengingat kembali pada sejarah undang-undang perkawinan 1973, terutama perdebatan yang berkaitan dengan pasal 11 ayat (2) bahwa “perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan tidak merupakan penghalang perkawinan” dan kemudian mendapat perubahan, maka perkawinan beda agama tidak dimungkinkan (dilarang) di Indonesia.M. Rasjidi dengan nada mengecam menyatakan bahwa kata “agama” dalam pasal ini sengaja diselipkan sedemikian rupa, sehingga orang yang tidak teliti dalam membacanya akan mengatakan bahwa pasal ini tidak bertentangan dengan hukum Islam. Selain itu, Rasjidi juga menganggap bahwa RUU ini merupakan kristenisasi terselubung karena menganggap hal yang dilarang Islam seolah menjadi hal yang sudah biasa diterima oleh orang termasuk perkawinan antar agama.Menyamakan perbedaan agama dengan perbedaan suku dan daerah asal sehingga dianggap tidak menghalangi sahnya suatu perkawinan adalah merupakan hal yang bertentangan dengan ajaran Islam sehingga RUU ini hanya menguntungkan satu pihak saja yaitu misionaris.
Kedua, ada beberapa pasal yang dapat dijadikan dasar dilarangnya perkawinan beda agama dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yaitu pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 haruf (f). Dalam pasal 2 ayat (1) dinyatakan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.Kemudian dalam penjelasannya dinyatakan “Dengan perumusan pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini”. Bila pasal ini diperhatikan secara cermat, maka dapat dipahami bahwa undang-undang menyerahkan kepada masing-masing agama untuk menentukan cara-cara dan syarat-syarat pelaksanaan perkawinan tersebut, disamping cara-cara dan syarat-syarat yang telah ditepkan oleh negara. Jadi apakah suatu perkawinan dilarang atau tidak, atau apakah para calon mempelai telah memenuhi syarat-syarat atau belum, maka disamping tergantung kepada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, hal tersebut juga ditentukan oleh hukum agamanya masing-masing. Dalam perspektif agama-agama di Indonesia, maka perkawinan beda agama tidak dibenarkan karena tidak sesuai dengan hukum agama-agama yang diakui di Indonesia. Argumentasi ini diperkuat oleh pasal 8 huruf (f) bahwa “perkawinan dilarang antara dua orang yang ; mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlakudilarang kawin”.
Ketiga, merujuk kepada pasal 66 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijks Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Chisten Indonesiers S. 1933 No 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemegnde Huwelijken S. 1989 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”.
Dari ketentuan pasal 66 itu, jelas bahwa ketentuan-ketentuan GHR (STB. 1898/158)  sebagaimana yang diungkapkan diawal juga tidak dapat diberlakukan lagi karena di samping ketentuannya telah mendapat pengaturan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, GHR juga mengandung asas yang bertentangan dengan asas keseimbangan hukum antara suami istri sebagaimana yang dianut oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Selain itu, rumusan mengenai perkawinan campuran dalam GHR berbeda dengan rumusan dalam pasal 57 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.
Rumusan di atas membatasi diri hanya pada perkawinan antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing.Adapun perkawinan antara sesama warga negara Indonesia yang tunduk kepada hukum yang berlainan, termasuk perkawinan antar agama, tidak termasuk dalam lingkup batasan perkawinan campuran menurut undang-undang ini.
Adapun perkawinan beda agama  dalam Kompilasi Hukum Islam secara ekspilisit dapat dilihat dari ketentuan empat pasal.
Pada pasal 40 KHI, dinyatakan: Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
1. Karena wanita yang bersangutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain.
2. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain.
3. Seorang wanita yang tidak beragama Islam.

ü Pasal 44 KHI;
”Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.”
ü Pasal 61 KHI;
”Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau  ikhtilaf al-din.
ü Pasal 116 KHI;
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
1. Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebaginya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara (lima) tahun, atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4.  Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankannya sebagai suami atau istri.
5.Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
6.  Suami melanggar taklik talak.
7.  Peralihan agama atau murtad  yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Jika dilihat ketentuan peraturan yang ada dalam batang tubuh Kompilasi Hukum Islam itu sendiri, pasal-pasal yang ada tidak berada dalam satu Bab tertentu. Pasal 40 KHI dan juga Pasal 44 dimasukkan dalam bab larangan kawin, sedangkan pasal 61 dimasukkan pada bab pencegahan perkawinan, sementara itu, pasal 116 KHI berada pada bab putusnya perkawinan.

2.6 Peranan Pemerintah  dalam Hal  Pernikahan Beda Agama
Di Indonesia, pemerintah menyediakan dua lembaga yang mencatat perkawinan, yakni Kantor Urusan Agama (KUA), terhadap masyarakat yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil (KCS), terhadap masyarakat yang beragama non Islam.
Masyarakat yang pluralistik seperti di Indonesia, sangat mungkin terjadi perkawinan diantara dua orang pemeluk agama yang berlainan. Beberapa diantara mereka yang mempunyai kelimpahan materi mungkin tidak terlampau pusing karena bisa menikah di negara lain, namun bagaimana yang kondisi ekonominya serba paspasan. Tentu ini menimbulkan suatu masalah hukum
Ada dua cara dalam menyikapi perkawinan beda agama ini: Pertama, salah satu pihak dapat melakukan perpindahan agama, namun ini dapat berarti penyelundupan hukum, karena yang terjadi adalah hanya menyiasati secara hukum ketentuan dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun setelah perkawinan berlangsung masing-masing pihak kembali memeluk agamanya masing-masing. Cara ini sangat tidak disarankan.
Kedua, berdasarkan Putusan MA No 1400 K/Pdt/1986 Kantor Catatan Sipil diperkenankan untuk melangsungkan perkawinan beda agama. Kasus ini bermula dari perkawinan yang hendak dicatatkan oleh Ani Vonny Gani P (perempuan/Islam) dengan Petrus Hendrik Nelwan (laki-laki/Kristen). Dalam putusannya MA menyatakan bahwa dengan pengajuan pencatatan perkawinan di KCS maka Vonny telah tidak menghiraukan peraturan agama Islam tentang Perkawinan dan karenanya harus dianggap bahwa ia menginginkan agar perkawinannya tidak dilangsungkan menurut agama Islam. Dengan demikian, mereka berstatus tidak beragama Islam, maka KCS harus melangsungkan perkawinan tersebut. Secara a contrario maka KUA wajib melangsungkan perkawinannya, karena perempuan yang beragama Nasrani tidak lagi menghiraukan statusnya yang beragama Nasrani. Oleh karena itu melakukan penundukkan hukum secara jelas kepada seluruh Hukum Islam yang terkait dengan perkawinan.
Dengan demikian, dari semula pasangan yang berbeda agama
tidak perlu melakukan penyelundupan hukum dengan mengganti agama untuk sementara, namun bisa melangsungkan perkawinan tanpa berpindah agama.
pada akhirnya  pasangan beda agama tetap bisa menikah dengan dua cara sesuai hukum masing-masing agamanya. Misalnya, pasangan Islam-Kristen. Keduanya tetap bisa menikah dengan cara Islam melalui akad nikah. Lalu dengan cara Kristen melalui pemberkatan. setelah menikah mereka tetap bisa mencatatkan pernikahannya melalui Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (DKPS) untuk mendapatkan kutipan akta nikah. Hanya saja, pernikahan yang dilakukan secara non-Islam yang akan dicatatkan. Yakni Kristen, Katolik, Buddha atau Khonghucu. Hindu melalui Parisada Hindu Dharma Indonesia sudah menolak nikah beda agama dalam sidang MK.
meski yang dicatat hanya pernikahan non-Islam, Kristen misalnya, tidak otomatis yang muslim menjadi Kristen. Begitu juga sebaliknya. setelah berkeluarga, keduanya pun dapat mencantumkan identitas agama masing-masing di kartu keluarga (KK) sesuai yang tersemat di KTP. Jadi di KK nanti ada Islam, Kristen, dan seterusnya.
Kutipan akta nikah dari DKPS itu status hukumnya sama dengan buku nikah yang dikeluarkan KUA.
  


BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
1.    Pernikahan beda agama adalah pernikahan yang dilakukan oleh seorang pria dan wanita yang beda agama. Yaitu pernikahan antara laki-laki non muslim dengan wanita muslimah, dan pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita non muslim.
2.    Hukum, tujuan, rukun dan syarat pernikahan
Hukum pernikahan dengan melihat keadaan orang-orang tertentu antara lain yaitu wajib, sunnah, makruh, mubah dan haram.
Secara umum tujuan pernikahan menurut Islam adalah untuk memenuhi hajat manusia (pria terhadap wanita atau sebaliknya) dalam rangka mewujudkan rumah tangga yang bahagia, sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama Islam.
Rukun dan syarat pernikahan antara lain: calon suami, calon istri, wali nikah, saksi nikah, ijab dan Qobul.
3.  Secara ringkas hukum nikah beda agama bisa kita bagi menjadi demikian :
·         Laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab hukumnya sah/boleh dilakukan.
·         Laki-laki muslim menikahi wanita kafir bukan ahli kitab hukumnya haram.
·          Laki-laki ahli kitab menikahi wanita muslimah hukumnya haram.
·         Laki-laki kafir bukan ahli kitab menikahi wanita muslimah hukumnya haram.
4. Dampak pernikahan beda agama antara lain:
a. terjadi konflik antar keluarga. Orang tua akan menolak pernikahan tersebut.
b. adanya konflik kepentingan dalam hal pengasuhan anak. Seperti pemilihan kepercayaan yang harus dianut oleh anak.
c. persoalan administrasi
d. bukti nikah tidak dapat dicatat di kecamatan meskipun telah menikah melalui “KUA swasta”.
5. a. Pernikahan beda agama menurut UU Pernikahan No. 1 Tahun 1974 dapat disimpulkan bahwa tidak ada perkawinan yang dilakukan di luar hukum agama dan kepercayaannya, sebab untuk menentukan sah atau tidaknya perkawinan berdasarkan pada hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
b.   MUI secara tegas melarang adanya perkawinan berbeda agama. Keputusan Majelis Ulama Indonesia tahun 1980 yang ditanda tangani oleh Prof. Dr. Hamka memfatwakan: (1) “Perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non muslim adalah haram hukumnya.
c.   menurut Kompilasi Hukum Islam sendiri lewat empat pasal krusial yaitu pasal 40, 44, 61 dan 116 telah menjelaskan tentang dilarangnya perkawinan beda agama.
6. pemerintah menyediakan dua lembaga yang mencatat perkawinan, yakni Kantor Urusan Agama (KUA), terhadap masyarakat yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil (KCS), terhadap masyarakat yang beragama non Islam.  Pasangan yang berbeda agama tidak perlu melakukan penyelundupan hukum dengan mengganti agama untuk sementara, namun bisa melangsungkan perkawinan tanpa berpindah agama.
pasangan beda agama tetap bisa menikah dengan dua cara sesuai hukum masing-masing agamanya. Misalnya, pasangan Islam-Kristen. Keduanya tetap bisa menikah dengan cara Islam melalui akad nikah. Lalu dengan cara Kristen melalui pemberkatan. setelah menikah mereka tetap bisa mencatatkan pernikahannya melalui Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (DKPS) untuk mendapatkan kutipan akta nikah. Hanya saja, pernikahan yang dilakukan secara non-Islam yang akan dicatatkan.

3.2  Saran
Dengan adanya penjelasan mengenai perkawinan beda agama di atas, maka diharapkan supaya para masyarakat khususnya bagi calon suami maupun isteri untuk sedini mungkin menghindari perkawinan beda agama tersebut dan lebih memperdalam lagi ilmu agama yang dianut supaya terhindar dari hasrat untuk kawin dengan berbeda keyakinan. Karena pada prinsipnya Negara Indonesia belum ada pengaturannya secara khusus dan tegas di dalam undang-undang perkawinan nasional. Untuk itu, perkawinan beda agama hanya dapat menyebabkan kerugian yang lebih banyak daripada manfaat atau keuntungannya.



DAFTAR PUSTAKA

1.  Prof. DR. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Kencana, Jakarta, 2007.
2.  Kurniawan, Beni. Manajemen Pernikahan;  Tuntunan Bijak Bagi Pasangan Muda, Nasihat Bijak untuk semua Keluarga, Jelajah Nusa, Tangerang , 2012.
3. core.ac.uk/download/pdf/11711019.pdf
4. 38.-Perkawinan-Beda-Agama.pdf
6. “Hukum Pernikahan Beda Agama (Islam dan Non Muslim)”. 31 Maret 2013.
7. Tafsir al-Quran. “Surat Al-Baqarah [2:221] Seruan agar mumin TIDAK menikahi wanita musryik”. 27 November 2012.
8. Aldilah, Rhisky. “Hukum Pernikahan Beda Agama Dalam Islam” . 2015 http://www.academia.edu/8189968/HUKUM_PERNIKAHAN_BEDA_AGAMA_DALAM_ISLAM
9. “Nikah Beda Agama Dalam Perspektif  Islam” . 2014 http://nikahbedaagama.org/nikah-beda-agama-dalam-persepektif-islam/
10. “Nikah Beda Agama Dalam Pandangan Hukum Islam”. 2015. http://kuakecamatankarimun.blogspot.co.id/2013/08/nikah-beda-agama-dalam-pandangan-hukum.html
11. Syafieh. “ Pernikahan Beda Agama Menurut Kompilasi Hukum Islam: Antara Tuntutan Normatif dan Kepentingan Kemaslahatan”. 9 Juni 2013.
12. Ediyansyah, Rhodoy R. “Hukum Nikah Beda Agama Dalam Islam”. 8 Juli 2015.
13. Madini, Tuwuh. “Hukum Islam Dalam Pernikahan Beda Agama”. 23 April 2015.
14. Syuhud, A. Fatih. “Pernikahan Beda Agama Dalam Islam”. 25 November 2012.