BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
masalah
Di dalam kondisi masyarakat Indonesia yang beragam, dari segi suku,
agama, dan ras, terdapat berbagai macam masalah yang timbul di dalamnya. Salah
satu masalah yang menjadi sorotan dalam konflik-konflik yang timbul dalam
masyarakat sekarang ini ialah dimana kita sering jumpai terjadinya
perlangsungan pernikahan beda agama. Kontak antar masyarakat yang berbeda latar
belakang ini pada kemudian hari menimbulkan adanya suatu fenomena dalam
masyarakat yaitu berupa pernikahan campuran. Salah satu pernikahan campuran yang paling banyak mengundang perdebatan adalah pernikahan campuran antara pasangan yang memiliki agama yang berbeda.
Masalahnya, dengan pernikahan beda agama
akan terjadi suatu perbedaan prinsipil dalam pernikahan itu sehingga
dikhawatirkan akan menimbulkan berbagai masalah yang rumit untuk diselesaikan
dikemudian hari. Oleh karena itu, kemudian hal itu banyak mendapat tantangan
dari masyarakat luas, tetapi juga oleh hukum positif di Negara kita serta hukum
agama yang mereka anut. Walau tidak dapat dipungkiri ada saja pihak yang pro
terhadap keberadaan pernikahan beda agama
ini.
Q.S. al-Rum : 21. Menjelaskan bahwa pernikahan yang ideal adalah pernikahan
seorang suami dan isteri yang sakinah, dan satu tujuan, saling cinta dan
ketulusan hati. Sehingga kehidupan suami isteri akan tentram, penuh cinta dan
kasih sayang, keluarga akan bahagia, anak-anak akan sejahtera, hingga akhirnya
terwujud tujuan pernikahan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga
yang sakinah mawaddah dan warohmah.
Dalam pandangan fiqih, pernikahan yang ideal adalah pernikahan yang
dilakukan oleh pasangan pria dan wanita yang sekufu (sepakat), sehingga
tercipta keluarga sakinah, mawadah, warohmah. Keluaraga yang demikian akan
diselimuti oleh rasa tentram dan penuh cinta kasih sayang. Pernikahan seperti
itu akan terjadi jika suami istri berpegang pada agama yang sama, keduanya
beragama islam dan menjalankan syariat islam.
Kemungkinan terjadinya nikah beda agama
biasanya di beberapa Negara yang heterogen dan majemuk, seperti bangsa
Indonesia, terutama bila dilihat dari segi etnis, suku bangsa, dan agama
mempunyai potensi munculnya nikah beda agama. konsekuensinya adalah perbedaan kepercayaan,
cara pandang hidup dan berinteraksi antar sesama warga. Sehingga banyak
seorang muslim berinteraksi terhadap orang non-muslim. Kemudian
terjadi interaksi dan memunculkan ketertarikan antara pria dan wanita yng
berbeda agama.
Salah satu persoalan dalam hubungan antar
umat beragama ini adalah masalah pernikahaan muslim dengan non muslim yang
disebut dengan nikah beda agama. Persoalan ini menimbulkan perbedaan pendapat
dari dua belah pihak yang pro dan kontra. Masing-masing pihak memiliki dasar hukum
berupa dalil maupun argument rasional yang berasal dari penafsiran mereka
masing-masing terhadap dalil-dalil islam tentang pernikahan beda agama.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas pada
pembahasan tentang pernikahan beda agama antara lain adalah:
1. Apa pengertian Pernikahan beda agama?
2. Apa hukum, tujuan, rukun dan syarat
Pernikahan?
3. Bagaimana pembagian pernikahan beda agama
serta hukumnya?
4. Bagaimana dampak pernikahan beda agama?
5. Bagaimana pernikahan beda agama menurut UU perkawinan no.1 th 1974, Fatwa MUI dan
Kompilasi Hukum Islam?
6. Bagaimana
Peranan Pemerintah untuk Menanggulangi Permasalahan Pernikahan Beda Agama?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan uraian latar belakang masalah dan
rumusan masalah sebagaimana dikemukakan tersebut, maka tujuan penelitian ini
yaitu:
1. untuk mengetahui definisi pernikahan beda
agama serta hukumnya
2. untuk mengetahui hukum tentang pernikahan
beda agama menurut syariat islam
3. untuk mengetahui peranan pemerintah dalam
mengatasi permasalahan tentang pernikahan beda agama yang terjadi di kalangan
masyarakat
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat yang dapat di ambil dari
penelitian ini adalah masyarakat dapat
mengetahui hukum-hukum pernikahan yang menyangkut perbedaan agama dengan jelas
agar nantinya tidak melakukan perbuatan
ini karena dianggap tidak sesuai dengan syariat islam maupun hukum di
Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep dan Pengertian Pernikahan Beda Agama
Secara etimologi, pernikahan berarti “persetubuhan”. Ada pula yang
mengartikannya “perjanjian” (al-Aqdu). Secara terminology pernikahan
menurut Abu Hanifah adalah “Aqad yang dikukuhkan untuk memperoleh kenikmatan
dari seorang wanita yang dilakukan dengan sengaja”.
Pengukuhan disini maksudnya adalah sesuatu pengukuhan yang sesuai dengan
ketepatan pembuatan syari’ah, bukan sekedar pengukuhan yang dilakukan oleh dua
orang yang saling membuat aqad (perjanjian) yang bertujuan hanya sekedar untuk
mendapatkan kenikmatan semata.
Menurut Muhammad Abu Israh adalah akat
yang memberikan faidah hukum kebolehan dalam mengadakan hubungan keluarga
(suami-istri) antara pria dan wanita, serta mengadakan tolong menolong dan
member batas hak bagi pemiliknya, serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing.
Menurut jumhur ulama’ nikah adalah akat yang mengandung ketentuan hukum
kebolehan hubungan kelamin dengan lafadz nikah atau ziwaj atau yang semakna
dengan keduanya.
Menurut
mazhab Maliki, pernikahan adalah “Aqad yang dilakukan untuk mendapatkan
kenikmatan dari wanita”. Dengan aqad tersebut seseorang akan terhindar dari
perbuatan haram (zina). Menurut mazhab Syafi’i pernikahan adalah “Aqad yang
menjamin diperbolehkan persetubuhan”. Sedang menurut mazhab Hambali adalah
“Aqad yang di dalamnya terdapat lafazh pernikahan secara jelas, agar
diperbolehkan bercampur”.
Menurut
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dan wanita sebagai suami istri denagn tujuan untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pernikahan beda agama pada dasarnya berarti
pernikahan yang dilangsungkan antar pasangan yang berbeda agama satu sama lain.
Pernikahan bernuansa keragaman ini banyak terjadi didalam kehidupan
bermasyarakat.
Persoalan nikah beda agama dalam konteks Negara Indonesia adalah
persoalan hukum. Sementara tafsiran agama-agama tentang pernikahan antara
penganut agama bersangkutan dengan penganut agama lain adalah persoalan
teologis dan tafsir-tafsir keagamaan.
Yang
dimaksud dengan nikah beda agama adalah pernikahan yang dilakukan oleh seorang
pria dan wanita yang beda agama. Yaitu pernikahan antara laki-laki non muslim
dengan wanita muslimah, dan pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita
non muslim.
2.2. Hukum, Tujuan, Rukun dan Syarat
Pernikahan
2.2.1 Hukum Pernikahan
Dengan melihat kepada hakikat pernikahan itu merupakan akad yang
membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak
dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal dari pernikahan itu adalah
boleh atau mubah. Namun dengan melihat kepada sifatnya sebagai sunnah
Allah dan sunnah Rasul, tentu tidak mungkin dikatakan bahwa hukum asal
pernikahan itu hanya semata mubah. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa melangsungkan akad pernikahan disuruh oleh agama dan dengan telah
berlangsungnya akad pernikahan itu, maka pergaulan laki-laki dengan perempuan
menjadi mubah.
Pernikahan adalah suatu perbuatan yang disuruh oleh Allah dan
juga disuruh oleh Nabi. Banyak suruhan-suruhan Allah dalam Al-quran untuk
melaksanakan perkawinan. Diantaranya firman-Nya dalam surat An-Nur ayat 32:
وَ
أَنْكِحُوا الْأَيامى مِنْكُمْ وَالصَّالِحينَ مِنْ عِبادِكُمْ وَ إِمائِكُمْ
إِنْ يَكُونُوا فُقَراءَيُغْنِهِمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ وَ اللهُ واسِعٌ عَليمٌ
Artinya: “Dan
kawinkanlah orang –orang yang sendirian diantara
kamu dan orang-orang yang layak (untuk kawin) diantara hamba-hamba sahayamu
yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin
Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan kurnia-Nya.”
Begitu banyak pula suruhan Nabi kepada umatnya untuk melakukan
perrkawinan. Diantaranya seperti dalam hadits Nabi dari Anas bin Malik menurut
riwayat Ahmad dan disahkan oleh Ibnu Hibban, sabda Nabi yang bunyinya:
“Kawinilah
perempuan-perempuan yang dicintai yang subur, karena sesungguhnya aku akan
berbangga karena banyak kawin dihari kiamat.”
Dari begitu banyaknya
suruhan Allah dan Nabi untuk melaksanakan pernikahan itu, maka pernikahan itu
adalah perbuatan yang lebih disenangi Allah dan Nabi untuk dilakukan. Namun
suruhan Allah dan Rasul untuk melangsungkan pernikahan itu tidaklah berlaku
secara mutlak tanpa persyaratan. Persyaratan untuk melangsungkan perkawinan itu
terdapat dalam hadits Nabi dari Abdullah bin Mas’ud Muttafaq alaih yang
bunyinya:
“Wahai para pemuda, siapa diantaramu telah
mempunyai kemampuan dari segi “al-baah” hendaklah ia kawin, karena perkawinan
itu lebih menutup mata dari penglihatan yang tidak baik dan lebih menjaga
kehormatan. Bila ia tidak mampu untuk kawin hendaklah ia berpuasa; karena puasa
itu baginya pengekang hawa nafsu.”
Kata-kata al-baah mengandung arti kemampuan melakukan
hubungan kelamin dan kemampuan dalam biaya hidup pernikahan. Kedua hal ini
merupakan persyaratan pernikahan. Pembicaraan tentang hukum asal dari suatu
pernikahan yang diperbincangkan dikalangan ulama berkaitan dengan telah
dipenuhinya persyaratan tersebut.
Dalam hal menetapkan hukum asal suatu pernikahan terdapat
perbedaan pendapat dikalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum
perkawinan itu adalah sunnah. Dasar hukum dari pendapat jumhur ulama ini adalah
begitu banyaknya suruhan Allah dalam Al-Quran dan suruhan Nabi dalam sunnahnya
untuk melangsungkan pernikahan. Namun suruhan dalam Al-Quran dan sunnah
tersebut tidakmengandung arti wajib. Tidak wajibnya pernikahan itu karena tidak
ditemukan dalam ayat Al-Quran atau sunnah Nabi yang secara tegas memberikan
ancaman kepada orang yang menolak perkawinan. Meskipun da sabda Nabi yang
mengatakan: “siapa yang tidak mengakui sunnahku tidak termasuk dalam kelompokku”
namun yang demikian tidak kuat untuk menetapkan hukum wajib.
Golongan ulama yang berbeda pendapat dengan jumhur ulama itu
adalah golongan Zhahiriyah yang mengatakan hukum perkawinan bagi orang yang
mampu melakukan hubungan kelamin dan biaya perkawinan adalah wajib atau fardhu.
(Ibn
Hazm IX, 440) Dasar dari pendapat ulama Zhahiriyah ini adalah perintah Allah
dan Rasul yang begitu banyak untuk melangsungkan pernikahan. Perintah atau al-amr
itu adalah untuk wajib selama tidak ditemukan dalil yang jelas yang
memalingkannya dari hukum asal itu. Bahkan adanya ancaman Nabi bagi orang yang
tidak mau kawin dalam beberapa hadits menguatkan pendapat golongan ini.
Hukum asal menurut dua golongan ulama tersebut diatas berlaku
secara umum dengan tidak memerhatikan keadaan tertentu dan orang tertentu.
Namun karena ada tujuan mulia yang hendak dicapai dari pernikahan itu dan yang
melakukan pernikahan itu berbeda pula kondisinya serta situasi yang melingkupi
suasana pernikahan itu berbeda-beda. Dalam merinci hukum menurut perbedaan
keadaan dan orang tertentu itu berbeda pula pandangan ulama. Ulama Syafi’iyah
secara rinci menyatakan hukum pernikahan itu dengan melihat keadaan orang-orang
tertentu, sebagai berikut:
1. Sunnah, yaitu bagi
orang-orang yang telah berkeinginan untuk menikah, telah pantas untuk menikah
dan dia telah mempunyai perlengkapan untuk melangsungkan pernikahan tetapi
masih mampu menahan dirinya dari godaan yang menjurus kepada perzinaan.
2. Makruh, yaitu bagi
orang-orang yang belum pantas untuk menikah, belum berkeinginan untuk menikah,
sedangkan perbekalan untuk pernikahan juga belum ada. Begitu pula ia telah
mempunyai perlengkapan untuk pernikahan, namun fisiknya mengalami cacat.
Ulama Hanafiyah menambahkan hukum secara khusus
bagi keadaan dan orang tertentu sebagai berikut.
1. Wajib, yaitu bagi orang-orang yang telah pantas untuk menikah, berkeinginan
untuk menikah dan memiliki perlengkapan untuk pernikahan; ia takut akan
terjerumus berbuat zina kalau ia tidak menikah.
2. Makruh, yaitu bagi orang
yang pada dasarnya mampu melakukan perkawinan namun ia merasaakan berbuat
curang dalam perkawinannya itu (Ibn Humam III, 187)
Ulama lain menambahkan
hukum pernikahan secara khusus untuk keadaan dua orang tertentu sebagai
berikut:
1. Haram, yaitu bagi
orang-orang yang tidak akan dapat memenuhi ketentuan syara’ untuk melakukan
pernikahan atau ia yakin perkawinan itu tidak akan mencapai tujuan syara’,
sedangkan dia meyakini pernikahan itu akan merusak kehidupan pasangannya.
2. Mubah, yaitu bagi
orang-orang yang pada dasarnya belum ada dorongan untuk menikah dan pernikahan
itu tidak akan mendatangkan kemudaratan apa-apa kepada siapapun.
2.2.2 Tujuan Pernikahan
Secara umum
tujuan pernikahan menurut Islam adalah untuk memenuhi hajat manusia (pria
terhadap wanita atau sebaliknya) dalam rangka mewujudkan rumah tangga yang
bahagia, sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama Islam. Secara umum tujuan
pernikahan dalam Islam dalam diuraikan sebagai berikut:
1. Untuk
memperoleh kebahagiaan dan ketenangan hidup (sakinah). Ketentraman dan
kebahagiaan adalah idaman setiap orang. Nikah merupakan salah satu cara supaya
hidup menjadi bahagia dan tentram. Allah SWT berfirmanYang Artinya
:” Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya. “.(Ar-Rum : 21)
2. Membina
rasa cinta dan kasih sayang. Nikah merupakan salah satu cara untuk membina
kasih sayang antara suami, istri dan anak. ( lihat QS. Ar- Rum : 21
yang Artinya :”Dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan
sayang. “)
3. Untuk memenuhi kebutuhan seksual yang syah dan diridhai Allah SWT.
4. Melaksanakan
Perintah Allah swt. Karena melaksanakan perintah Allah swt maka menikah akan dicatat
sebagai ibadah. Allah swt., berfirman yang Artinya :" Maka
nikahilah perempuan-perempuan yang kamu sukai". (An-Nisa' : 3)
5. Mengikuti
Sunah Rasulullah saw. Rasulullah saw., mencela orang yang hidup membujang dan
beliau menganjurkan umatnya untuk menikah. Sebagaimana sabda beliau dalam
haditsnya:
( أَلنِّكَاحُ سُنَّتِى فَمَنْ
رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى ( رواه البخارى و مسلم
Artinya:"Nikah itu
adalah sunahku, barang siapa tidak senang dengan
sunahku, maka bukan golonganku". (HR. Bukhori dan Muslim)
6. Untuk
memperoleh keturunan yang syah.
Allah swt., berfirman
yang Artinya :” Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia “.
(Al-Kahfi : 46)
Sebelum pernikahan berlangsung dalam agama
Islam tidak mengenal istilah pacaran akan tetapi dikenal dengan nama “khitbah”.
Khitbah atau peminangan adalah penyampaian maksud atau permintaan dari seorang pria
terhadap seorang wanita untuk dijadikan istrinya baik secara langsung oleh si
peminang atau oleh orang lain yang mewakilinya. Yang diperbolehkan selama
khitbah, seorang pria hanya boleh melihat muka dan telapak tangan. Wanita yang
dipinang berhak menerima pinangan itu dan berhak pula menolaknya. Apabila
pinangan diterima, berarti antara yang dipinang dengan yang meminang telah
terjadi ikatan janji untuk melakukan pernikahan. Semenjak diterimanya pinangan
sampai dengan berlangsungnya pernikahan disebut dengan masa pertunangan. Pada
masa pertungan ini biasanya seorang peminang atau calon suami memberikan suatu
barang kepada yang dipinang (calon istri) sebagai tanda ikatan cinta yang dalam
adat istilah Jawa disebut dengan peningset.
Hal yang perlu disadari oleh pihak-pihak
yang bertunangan adalah selama masa pertunangan, mereka tidak boleh bergaul
sebagaimana suami istri karena mereka belum syah dan belum terikat oleh tali
pernikahan. Larangan-larang agama yang berlaku dalam hubungan pria dan
wanita yang bukan muhrim berlaku pula bagi mereka yang berada dalam masa
pertunangan.
Adapun wanita-wanita
yang haram dipinang dibagi menjadi 2 kelolmpok yaitu :
Ø Yang haram dipinang dengan cara sindiran dan terus terang adalah
wanita yang termasuk muhrim, wanita yang masih bersuami,wanita yang berada
dalam masa iddah talak roj’i dan wanita yang sudah bertunangan.
Ø Yang haram dipinang dengan
cara terus terang, tetapi dengan cara sindiran adalah wanita yang berada dalam
iddah wafat dan wanita yang dalam iddah talak bain (talak tiga).
2.2.3 Rukun Nikah Dan Syaratnya
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut
dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata
tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu
yang harus diadakan. Dalam hal suatu acara pernikahan umpamanya rukun dan
syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti pernikahan tidak sah bila keduanya
tidak ada atau tidak lengkap.
Unsur pokok suatu pernikahan adalah laki-laki dan perempuan yang akan
menikah, akad pernikahan itu sendiri, wali yang melangsungkan akad dengan si
suami, dua orang saksi yang menyaksikan telah berlangsungnya akad pernikahan
itu. Berdasarkan pendapat ini rukun pernkahan itu secara lengkap adalah sebagai
berikut:
1. Calon Suami
2. Calon Istri
3. Wali Nikah
4. Saksi Nikah
5. Ijab
6. Qobul
v Syarat Calon Suami, yaitu :
ü Islam
ü Lelaki yang tertentu
ü Bukan lelaki mahram dengan calon isteri
ü Mengetahui wali yang sebenarnya bagi akad
nikah tersebut
ü Bukan dalam ihram haji atau umrah
ü Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
ü Tidak mempunyai empat orang isteri yang
sah dalam satu masa
ü Mengetahui bahwa perempuan yang hendak
dinikahi adalah sah dijadikan isteri
v Syarat calon isteri, yaitu :
ü Islam
ü Perempuan yang tertentu
ü Bukan perempuan mahram dengan calon suami
ü Bukan seorang khunsa
ü Bukan dalam ihram haji atau umrah
ü Tidak dalam masa iddah
ü Bukan isteri orang
v Syarat Wali Nikah, yaitu :
ü Islam, bukan kafir dan murtad
ü Laki-laki Baligh
ü Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
ü Bukan dalam ihram haji atau umrah
ü Tidak fasik
ü Tidak cacat akal fikiran,gila, terlalu
tua dan sebagainya
ü Merdeka
ü Tidak ditahan kuasanya daripada
membelanjakan hartanya
v Syarat saksi nikah, yaitu :
ü Sekurang-kurangya dua orang
ü Islam
ü Berakal
ü Baligh
ü Laki-laki
ü Memahami isi lafal ijab dan qobul
ü Dapat mendengar, melihat dan berbicara
ü
Adil (Tidak melakukan dosa-dosa besar dan tidak
terlalu banyak melakukan dosa-dosa kecil)
ü Merdeka
v Syarat ijab, yaitu :
ü Pernikahan nikah ini hendaklah tepat
ü Tidak boleh menggunakan perkataan
sindiran
ü Diucapkan oleh wali atau wakilnya
ü Tidak diikatkan dengan tempo waktu
seperti mutaah (nikah kontrak atau pernikahan yang sah dalam tempo tertentu
seperti yang dijanjikan dalam persetujuan nikah mutaah)
ü
Tidak secara taklik (tidak ada sebutan
prasyarat sewaktu ijab dilafalkan)
v Syarat qobul, yaitu :
ü Ucapan mestilah sesuai dengan ucapan ijab
ü Tidak ada perkataan sindiran
ü Dilafalkan oleh calon suami atau wakilnya
(atas sebab-sebab tertentu)
ü Tidak diikatkan dengan tempo waktu
seperti mutaah (seperti nikah kontrak)
ü Tidak secara taklik (tidak ada sebutan
prasyarat sewaktu qobul dilafalkan)
ü Menyebut nama calon istri
ü Tidak ditambahkan dengan perkataan lain
-
Contoh Ijab : Wali perempuan berkata kepada pengantin laki-laki : "Aku
nikahkan anak perempuan saya bernama si Fulan binti …… dengan
....... dengan mas kawin seperangkat sholat dan 30 juz dari mushaf
Al-Qur’an".
أَنْكَحْتُكَ
وَزَوَّجْتُكِ فُلاَنَة بِنْتِ ... بِمَهْرِ عَدَوَاتِ الصَّلاَةِ وَثَلاَثِيْنَ
جُزْأً مِنْ مُصْحَافِ الْقُرْاَنِ حَالاً
- Contoh
Qobul : Calon suami menjawab: "Saya terima nikah dan perjodohannya
dengan diri saya denganmas kawin tersebut di depan". Bila
dilafalkan dengan bahasa arab sebagai berikut :
قَبِلْتُ نِكَحَهَا
وَتَزْوِجَهَا لِنَفْسِى بِالْمَهْرِ الْمَذْكُوْرِ
- Perempuan
yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya tidak syah. Rasulullah saw,
bersabda : Artinya :"Perempuan mana saja yang menikah tanpa seizin walinya maka pernikahan itu batal (tidak
syah)". (HR. Empat Ahli Hadits kecuali Nasai).
Saksi harus benar-benar adil. Rasulullah
saw., bersabda :
( لاَنِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
وَشَاهِدَى عَدْلٍ ( روه احمد
Artinya:"Tidak
syah nikah seseorang melainkan dengan wali dan 2 orang saksi yang adil".
(HR. Ahmad)
Setelah selesai aqad nikah biasanya diadakan
walimah, yaitu pesta pernikahan. Hukum mengadakan walimah adalah sunat muakkad.
Rasulullah SAW bersabda
:
”Orang yang sengaja
tidak mengabulkan undangan berarti durhaka kepada Allah dan RasulNya.” (HR.
Bukhori)
2.3 Pembagian Pernikahan Beda Agama Dalam Islam
Ada 3 kategroi nikah beda agama: pertama,
pria muslim menikah dengan wanita Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). Kedua, Pria
muslim menikah dengan wanita Musyrik. Ketiga, Wanita muslimah menikah dengan
pria Non Muslim.. Yang pertama boleh dan status nikahnya sah. Sedang dalam
kasus kedua dan ketiga adalah haram atau tidak boleh. Dan status pernikahannya
tidak sah.
2.3.1 Laki-Laki Muslim Menikahi Wanita
Nasrani Dan Yahudi (Ahlul Kitab)
Diperbolehkan
pria muslim menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) selama wanita
tersebut adalah wanita yang selalu menjaga kehormatannya serta tidak merusak
agama si suami dan anak-anaknya. Allah berfirman dalam QS Al-Maidah 5:5
الْيَوْمَ
أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌِ
لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang
baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal
bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini)
wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al
Kitab sebelum kamu.”
Dalam QS
5:5 di atas Allah mensyaratkan bolehnya menikahi wanita Nasrani haruslah wanita
yang baik-baik, bukan wanita nakal.
Sebagian Sahabat
Nabi juga menikahi wanita ahlul kitab (Yahudi/Nasrani) seperti Utsman bin Affan
dan Talhah bin Ubaidillah yang menikah dengan wanita Nasrani dan Hudzaifah yang
menikahi wanita Yahudi
Jika
memang laki-laki muslim boleh menikah dengan wanita ahli kitab, maka pernikahan
tentu saja bukan di gereja. Dan juga ketika memiliki anak, anak bukanlah diberi
kebebasan memilih agama. Anak harus mengikuti agama ayahnya yaitu Islam.
Sedangkan
selain ahli kitab (seperti Hindu, Budha, Konghucu) yang disebut wanita musyrik,
haram untuk dinikahi. Hal ini berdasarkan kesepakatan para fuqoha. Dasarnya
adalah firman Allah Ta’ala,
وَلاَ تَنكِحُواْ
الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ
وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ
“Dan janganlah
kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik
hatimu.” (QS. Al Baqarah: 221)
Menurut para ulama, laki-laki muslim sama sekali tidak boleh menikahi
wanita yang murtad meskipun ia masuk agama Nashrani atau Yahudi kecuali jika
wanita tersebut mau masuk kembali pada Islam.
Wali Nikah Calon Mempelai Wanita Nasrani
(Kristen/Katolik)
Menurut madzhab
Hanafi, Syafi'i dan Hanbali, sah pernikahan wanita Nasrani yang menikah dengan
lelaki muslim yang dinikahkan oleh ayahnya yang beragama Nasrani. Seperti yang
dikutip oleh Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni berikut:
إذا تزوج المسلم ذمية فوليها
الكافر يزوجها إياه ذكره أبو الخطاب وهو قول أبو حنيفة والشافعي لأنه وليها فصح تزويجه
لها كما لو زوجها كافراً
Apabila, wali yang ada menolak, maka
kekuasaan untuk menikahkan berpindah pada Wali Hakim yaitu pegawai KUA, naib
desa, atau ulama/kyai atau siapa saja
yang dianggap adil Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni mengatakan:
فإن لم يوجد للمرأة ولي ولا ذو سلطان ، فعن أحمد ما يدل على أنه يزوجها رجل عدل بإذنها
Artinya: Apabila calon mempelai wanita
tidak ada wali (nasab) dan tidak ada wali hakim, maka seorang laki-laki yang
adil boleh menikahkannya atas seijin wanita tersebut.
2.3.2 Laki-laki Muslim Menikahi Wanita
Musyrik
Adapun dasar hukumnya yaitu Al-Quran Al-Baqarah(2):221
وَلَا
تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ
مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ
يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ
أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ
وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ
يَتَذَكَّرُونَ
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun
dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
Di dalam ayat ini
ditegaskan oleh Allah swt. larangan bagi seorang muslim mengawini
perempuan-perempuan musyrik dan larangan mengawinkan perempuan mukmin dengan
laki-laki musyrik, kecuali kalau mereka telah beriman. Walaupun mereka itu
cantik dan rupawan, gagah, kaya dan sebagainya. Budak perempuan yang mukmin
atau budak laki-laki yang mukmin, lebih baik untuk dikawini daripada mengawini
orang musyrik itu. Dan pihak perempuan-perempuan yang beriman tidak sedikit pula
jumlahnya yang cantik-cantik, menarik hati, lagi beriman dan berakhlak.
Allah memerintahkan mengawini seorang
perempuan bukan saja karena cantik, banyak harta kekayaannya dan tinggi
kedudukannya, tapi yang ialah iman dan akhlaknya.
Dalam sebuah hadis Rasulullah saw.
bersabda:
لا تنكحوا النساء لحسنهن فعسي حسنهن أن يرديهن ولا
تنكحوهن علي أموالهن فعسي أموالهن أن تطغيهن و انكحوهن علي الدين فلأمة سوداء ذات
دين أفضل
“Jangan
kamu mengawini perempuan karena kecantikannya, mungkin kecantikan itu akan
membinasakan, janganlah kamu mengawini mereka karena harta kekayaannya mungkin
harta kekayaan itu akan menyebabkan mereka durhaka dan keras kepala. Tetapi
kawinilah mereka karena agamanya (iman dan akhlaknya). Budak perempuan yang
hitam, tetapi beragama, lebih baik dari mereka yang tersebut di atas. “ (HR
Ibnu Majah dari Abdullah bin ‘Amr)
Dan hadis lain Rasulullah saw. bersabda:
تنكح المرأة لأربع : لمالها و لحسبها و لجمالها و لدينها
فاظفر بذات الدين تربت يداك
“Perempuan itu dikawini karena 4 hal,
yaitu: karena hartanya, karena kebangsawanannya, karena kecantikannya dan
karena agamanya. Pilihlah perempuan yang beragama, engkau akan beruntung.”
(HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Perkawinan, erat
hubungannya dengan agama. Orang musyrik bukan orang beragama. Mereka menyembah
selain Allah. Di dalam soal perkawinan dengan orang musyrik ada batas tembok
yang kuat, tetapi dalam soal pergaulan bermasyarakat itu biasa saja. Sebab
perkawinan, erat hubungannya dengan keturunan dan keturunan erat hubungannya
dengan harta pusaka, berhubungan dengan makan dan minum dan ada hubungannya
dengan pendidikan dan pembangunan Islam.
Perkawinan dengan orang musyrik dianggap
membahayakan seperti diterangkan di atas, maka tegas-tegas Allah melarang
mengadakan hubungan perkawinan dengan mereka. Golongan orang musyrik itu akan
selalu menjerumuskan umat Islam ke
dalam bahaya di dunia, dan menjerumuskannya ke dalam neraka di akhirat,
sedang ajaran-ajaran Allah kepada orang-orang mukmin selalu membawa kepada
kebahagiaan dunia dan masuk surga di akhirat.
Ayat-ayat seperti ini diturunkan Allah
kepada manusia supaya mereka selalu ingat, jangan lalai dan lengah, sebab
bahayanya besar, bila tidak lagi berjalan di atas rel yang benar yang telah
ditetapkan Allah dalam syariat-Nya.
2.3.3 Pernikahan Laki-laki Non-Muslim
dengan Wanita muslimah
Tentang
status pernikahan wanita muslimah dan pria non muslim disebutkan dalam firman
Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ
أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا
تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ
لَهُنَّ
“Hai orang-orang
yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang
beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui
tentang keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar)
beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka (wanita mukmin) kepada
(suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka (wanita mukmin) tiada halal bagi
orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (QS. Al Mumtahanah: 10)
Berdasarkan pemahaman ayat diatas, sangat jelas
bahwa tidak boleh wanita muslim menikah dengan pria non muslim (agama apa pun
itu).
Berikut pandangan dari para ulama mengenai pernikahan laki-laki non muslim
dengan wanita muslimah:
Al Qurthubi rahimahullah mengatakan,
وأجمعت الامة على أن المشرك
لا يطأ المؤمنة بوجه، لما في ذلك من الغضاضة على الاسلام.
“Para ulama
kaum muslimin telah sepakat tidak bolehnya pria musyrik (non muslim) menikahi
(menyetubuhi) wanita muslimah apa pun alasannya. Karena hal ini sama saja
merendahkan martabat Islam.”
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,
هذه الآية هي التي حَرّمَت
المسلمات على المشركين
“Ayat ini
(surat Al Mumtahanah ayat 10) menunjukkan haramnya wanita muslimah menikah
dengan laki-laki musyrik (non muslim)”.
Asy Syaukani rahimahullah dalam
kitab tafsirnya mengatakan,
وفيه دليل على أن المؤمنة لا
تحلّ لكافر ، وأن إسلام المرأة يوجب فرقتها من زوجها لا مجرّد هجرتها
“Ayat ini
(surat Al Mumtahanah ayat 10) merupakan dalil bahwa wanita muslimah tidaklah
halal bagi orang kafir (non muslim). Keislaman wanita tersebut mengharuskan ia
untuk berpisah dari suaminya dan tidak hanya berpindah tempat (hijrah)”.
Syaikh
‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah mengatakan,
وكما أن المسلمة لا تحل للكافر، فكذلك الكافرة لا تحل
للمسلم أن يمسكها ما دامت على كفرها، غير أهل الكتاب،
“Sebagaimana
wanita muslimah tidak halal bagi laki-laki kafir, begitu pula wanita kafir
tidak halal bagi laki-laki muslim untuk menahannya dalam kekafirannya, kecuali
diizinkan wanita ahli kitab (dinikahkan dengan pria muslim).”
Syaikh Muhammad
bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
“Orang kafir
(non muslim) tidaklah halal menikahi wanita muslimah”. Hal ini berdasarkan nash
(dalil tegas) dan ijma’ (kesepakatan ulama).
Allah Ta’ala berfirman
(yang artinya),
“Hai orang-orang
yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang
beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui
tentang keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar)
beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka (wanita mukmin) kepada
(suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka (wanita mukmin) tiada halal bagi
orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.”
Wanita muslimah sama sekali tidak halal bagi orang kafir (non muslim)
sebagaimana disebutkan sebelumnya, meskipun kafirnya adalah kafir tulen (bukan
orang yang murtad dari Islam). Oleh karena itu, jika ada wanita muslimah menikah dengan pria non
muslim, maka nikahnya
batil (tidak sah).
Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim hafizhohullah dalam
Kitab Adhwaul Bayan (yang di mana beliau menyempurnakan
tulisan gurunya , Syaikh Asy Syinqithi), memberi alasan kenapa wanita muslimah
tidak dibolehkan menikahi pria non muslim, namun dibolehkan jika pria muslim
menikahi wanita ahli kitab. Di antara alasan yang beliau kemukakan: Islam itu tinggi dan tidak
mungkin ditundukkan agama yang lain. Sedangkan keluarga tentu saja dipimpin
oleh laki-laki. Sehingga suami pun bisa memberi pengaruh agama kepada si istri.
Begitu pula anak-anak kelak harus mengikuti ayahnya dalam hal agama.Dengan
alasan inilah wanita muslimah tidak boleh menikah dengan pria non muslim.
Sehingga
kemudian pilihan yang sering dianggap terbaik adalah meminta pria non-muslim
tersebut untuk menjadi muslim terlebih dahulu untuk memenuhi syarat sah
pernikahan sesuai Hukum Islam. Jika pria non-muslim tersebut bersedia, maka
pernikahan dapat dilangsungkan, namun jika ia tidak bersedia, maka pernikahan tidak dapat
dilangsungkan. Akan tetapi, apa yang akan terjadi apabila di kemudian hari si
pria non-muslim itu kembali kepada keyakinannya semula alias MURTAD (keluar
dari Islam) setelah pernikahan tersebut berlangsung? Fenomena ini sering
terjadi karena pada dasarnya ia memeluk Islam bukan karena mendapatkan hidayah
atau menemukan kebenaran Islam, melainkan karena ingin mendapatkan wanita
muslim tersebut. Apabila yang terjadi adalah demikian maka pernikahan tersebut
dalam Hukum Islam dianggap BATAL.
Ada tiga pendapat terkait waktu batalnya pernikahan akibat murtadnya suami
(yang menyebabkan antara suami isteri menjadi berbeda agama), yaitu :
Pendapat pertama : Pernikahan menjadi batal seketika itu juga,
baik sebelum atau sesudah bersetubuh. Ini adalah pendapat madzhab Hanafiyah,
Malikiyahdan salah satu dari dua riwayat yang ada dari Ahmad. Pendapat ini
diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri, Umar bin Abdul Aziz, Ats-Tsauri, Abu Nur
dan Ibnu Al-Mundzir. Penjelasan untuk Pendapat Pertama : Orang yang murtad
diqiyaskan kepada orang yang mati, karena murtad merupakan sebab buruk yang ada
pada dirinya, sedangkan orang yang mati bukanlah obyek untuk dinikahi. Oleh
karena itu, tidak boleh menikahi orang yang murtad sejak zaman dahulu, dan
selanjutnya ketentuan tersebut akan tetap demikian.
Pendapat
Kedua : Apabila murtadnya sebelum melakukan persetubuhan, maka pernikahan
tersebut batal seketika itu juga. Namun apabila murtadnya setelah melakukan
persetubuhan, maka pembatalan pernikahannya ditangguhkan hingga masa iddahnya
habis. Jika orang yang murtad itu kembali masuk Islam sebelum masa iddahnya
habis, maka dia tetap pada status pernikahannya. Dan jika dia masuk Islam
setelah masa iddahnya habis, maka antara keduanya telah dinyatakan cerai sejak
dia murtad. Pendapat ini dianut oleh madzhab Syafiiyah dan Hanbaliyah dalam
sebuah riwayat yang masyhur dari mereka.
Penjelasan
untuk Pendapat Kedua :
Firman Allah SWT :
“Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali
(perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir” [Al-Mumtahanah : 10]
Sebab, murtad merupakan perbedaan agama, yang dapat menghalangi
untuk mendapatkan dirinya, sehingga pernikahan pun menjadi batal. Hal ini
sebagaimana jika seorang istri masuk Islam, sementara dirinya berstatus sebagai
istri dari suami yang kafir. Adapun jika murtadnya setelah melakukan
persetubuhan, maka pembatalan pernikahannya ditangguhkan sampai masa iddahnya
habis. Dalam menentukan yang demikian itu, mereka berdalil dengan qiyas. Mereka
berkata : Sesungguhnya salah seorang dari pasangan suami-istri yang murtad atau
berbeda agama setelah melakukan persetubuhan, maka pernikahannya tidak harus
menjadi batal pada saat itu juga. Hal ini sebagaimana jika salah seorang dari
suami-istri yang sah masuk Islam.
Pendapat Ketiga : Menurut Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim, apabila salah seorang dari pasangan
suami-istri murtad, maka pernikahannya harus dibekukan. Apabila dia kembali
masuk Islam, maka pernikahannya sah lagi, baik dia masuk Islam sebelum
bersetubuh atau setelahnya, baik dia masuk Islam sebelum masa iddahnya habis
atau sesudah masa iddahnya habis.
Penjelasan untuk Pendapat Ketiga :
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam
rangka mejelaskan bahwa hukum Islam apabila salah seorang dari suami-istri
murtad, maka pernikahan keduanya harus dibekukan : Demikian pula masalah
murtad, pendapat yang menyatakan harus segera diceraikan adalah menyelisihi
sunnah yang telah dicontohkan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Sebab pada masa
beliau, banyak pula manusia yang murtad. Di antara mereka ada yang istrinya
tidak ikut murtad. Kemudian, mereka kembali masuk Islam lagi, dan istri-istri
mereka pun kembali lagi kepada mereka. Tidak pernah diketahui bahwa ada
seorangpun dari mereka yang disuruh memperbaharui pernikahannya. Padahal, sudah
pasti bahwa di antara mereka ada yang masuk Islam setelah sekian lama, melebihi
masa iddah. Demikian pula, sudah pasti bahwa mayoritas dari istri-istri mereka
yang tidak murtad tersebut, namun Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tidak
pernah menanyakan secara mendetail kepada seorang pun dari suami-suami yang
murtad, apakah ia masuk Islam setelah masa iddah istrinya habis atau
sebelumnya. Secara umum, pendapat mayoritas untuk masalah ini adalah : Apabila
suami MURTAD (kembali ke agama asal), maka pernikahan menjadi batal demi hukum
yang dalam istilah fiqih disebut fasakh (arti literal, rusak). Ini adalah
pendapat dari mayoritas pakar syariah madzhab yang empat yaitu madzhab Syafi'i,
Hanafi, Hambali. Artinya, tidak ada hubungan pernikahan lagi antara suami dan isteri.
Dan hubungan intim setelah itu dianggap zina. Sedangkan menurut madzhab Maliki,
suami murtad akan berakibat istri tertalak tiga secara otomatis. Beda antara
talak dan fasakh adalah fasakh berakibat putusnya pernikahan sama sekali dengan
tidak ada masa iddah bagi istri. Sedangkan talak berarti putusnya pernikahan
dengan adanya masa iddah bagi istri.
· Imam Nawawi dari madzhab Syafi'i menyatakan dalam kitab
Al-Minhaj
“Apabila nikah batal (fasakh) karena sebab murtad setelah
terjadinya hubungan intim maka istri berhak mendapat mahar atau maskawin (kalau
mahar belum dibayar). Perpisahan suami-istri karena murtad disebut fasakh.”
· Al-Ibadi dari madzhab Hanafi mengatakan dalam kitab
Mukhtashar Al-Qaduri
“Apabila salah satu suami-istri murtad dari Islam maka terjadikan
perpisahan (firqah) yang bukan talak. Menurut Abu Yusuf, apabila yang murtad
itu suami maka disebut talak.”
· Dalam kitab Daurul Hukkam madzhab Hanafi juga dikatakan,
“Murtadnya salah satu suami-istri membatalkan nikah
secara otomatis tanpa perlu keputusan hukum pengadilan.”
· Ibnu Qudamah dari madzhab Hanbali menyatakan dalam kitab
Al-Muqni'
“Apabila salah satu suami-istri murtad (keluar dari
Islam) sebelum dukhul (hubungan intim) maka nikahnya batal (fasakh) dan istri
tidak berhak atas mahar apabila istri yang murtad, sedangkan apabila suami yang
murtad maka istri berhak mendapat separuh mahar. “
2.4 Dampak Pernikahan Beda Agama
Perkawinan
bedaagama merupakan fakta yang terjadi oleh segelintir orang yang mengusung
teologi lintas agama dan kebebasan hak asasi manusia. Dari beberapa kasus yang
terjadi perkawinan beda agama selalu menyisakan
konflik dalam keluarga, jika anggota keluarganya melangsungkan perkawinan
dengan pasangan beda agama. Orang tua dari pemeluk agama manapun akan resah dan menolak perjodohan anaknya dengan pasangan berbeda agama. Jika terjadi perkawinan beda
agama maka terjadi konflik
kepentingan dalam pengasuhan anak, orang tua yang beragama Islam
memiliki kewajiban mendidik anaknya secara Islam begitu pun sebaliknya yang non
muslim.
Perkawinan
beda agama juga menyisakan
persoalan administrasi yang
merugikan pelaku nikah beda agama. Meskipun ada lembaga yang bertindak sebagai
“KUA swasta” menikahkan pasangan beda agama, tetap saja bukti nikahnya tidak
dapat dicatat di KUA Kecamatan. Ketahuilah bahwa perkawinan merupakan lembaga
suci yang disyariatkan Allah kepada manusia untuk menjadi media mempertahankan
keturunan, tata caranya diatur oleh agama. Hidup kita harus tunduk pada aturan
agama. Jangan kita menolak sebuah keniscayaan bahwa kita ditakdirkan menjadi
manusia untuk taat dan mengikuti hukum dan aturan Tuhan. Bukan sebaliknya
menggunakan isu kebebasan untuk menolak ajaran suci yang disyariatkan agama.
2.5 Pernikahan Beda Agama Menurut UU Perkawinan
No.1 th 1974, Fatwa MUI dan Kompilasi Hukum Islam
2.5.1 Pernikahan Beda Agama Menurut UU Perkawinan No.1 th 1974
Dalam negara Indonesia sebagai negara kesatuan yang berdasarkan Pancasila,
dimana sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan dianggap
mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, sehingga perkawinan bukan
saja mengandung unsur luhur tetapi juga terdapat unsur batin.
Dalam pasal 1 UU Perkawinan ditetapkan rumusan pengertian perkawinan.
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai
suami dan istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Selanjutnya dalam pasal 2 (ayat 1) ditetapkan bahwa Perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Dari ketentuan pasal di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada perkawinan yang
dilakukan di luar hukum agama dan kepercayaannya, sebab untuk menentukan sah
atau tidaknya perkawinan berdasarkan pada hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya.
Dengan tidak adanya ketentuan tentang perkawinan beda agama di dalam UU
Perkawinan, maka sangat sulit untuk melakukan perkawinan beda agama di
Indonesia karena tidak diatur dan lembaga-lembaga yang mengurusi administrasi
perkawinan pun dibedakan, untuk perkawinan agama Islam lembaga yang bertugas
melakukan pencatatan adalah Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk yang ada di KUA,
sedang untuk perkawinan non Islam dicatat oleh Lembaga Catatan Sipil (LCS).
Orang Islam yang ingin menikah tudak dapat dicatat oleh LCS begitu pun
sebaliknya orang non Islam yang ingin menikah juga tidak dapat dicatat oleh
Lembaga PNRT. Dan sesuai dengan Keputusan Presiden No. 12 tahun 1983 tentang
penataan dan peningkatan pembinaan penyelenggaraan catatan sipil, telah
meniadakan tugas penyelenggaraan perkawinan yang merupakan kewenangan Kantor
Catatan Sipil. Jadi semakin menipiskan peluang untuk melakukan perkawinan beda
agama, karena secara hukum tidak ada lembaga yang dapat mencatat perkawinan
mereka.
Tetapi kita juga tidak dapat menghindari masalah tersebut karena negara
kita sangat sangat majemuk dan terdiri dari berbagai macam suku, ras, agama
,dan budaya. Pada perkawinan beda agama semua dapat teratasi apabila ada salah
satu dari calon suami isteri yang mengalah untuk mengikuti agama suami atau
isteri. Dengan cara begitu perkawinan akan melibatkan 1 agama saja, sehingga
memudahkan untuk melangsungkan perkawinan. Atau dengan cara salah satu pihak
menundukkan diri pada hukum agama suami atau isteri, tetapi cara ini banyak
mendapat sorotan dari masyarakat karena dianggap hanya tunduk pada saat acara
perkawinan saja, setelah itu mereka kembali ke agama masing-masing. Ini sama
saja dengan melecehkan agama, karena hanya bersifat sementara.
2.5.2 Fatwa MUI Tentang
Pernikahan Beda Agama
Majelis
Ulama Indonesia (MUI) telah dua kali mengeluarkan fatwa tentang haramnya
perkawinan beda agama.Pertama fatwa yang dikeluarkan pada 1Juni tahun1980, waktu
itu MUI diketuai oleh Buya Hamka.
Fatwa yang
dikeluarkan
berisi:
1. Perkawinan wanita
muslimah
dengan
laki-laki
non
muslim
adalah
haram
hukumnya.
2.Seorang laki-laki
muslim
diharamkan
mengawini
wanita
bukan
muslim.
Fatwa
ini mengambil dasar dari Alquran: QS.2, Al baqarah: 221, QS.5, Al
maidah: 5, QS.60,
Al-mumtahanah: 10,
QS.66, Attahrim: 6
dan Hadits
Nabi
Saw.
Pernikahanmerupakan
pengamalan separuh agama serta Hadits bahwa semua anak dilahirkan dalam keadaan
suci, maka ibu bapaknyalah yang menjadikannya beragama Yahudi, Nasrani atau
Majusi”
Kedua,
fatwa yang dikeluarkan pada tanggal 29 Juli tahun 2005 berisi:
1. Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak
sah.
2.
Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahlu kitab, menurut qaul mu’tamad
adalah haram dan tidak sah.
2.5.3 Pernikahan Berbeda Agama Menurut
Kompilasi Hukum Islam
Sebelum Kompilasi Hukum Islam hadir, ketentuan tentang perkawinan, telah
diatur secara legal formal dalam UU No: 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka pengaturan perkawinan
beda agama menjadi cenderung terhalangi. Hal ini berdasarkan alasan yakni pertama,
dengan mengingat kembali pada sejarah undang-undang perkawinan 1973, terutama
perdebatan yang berkaitan dengan pasal 11 ayat (2) bahwa “perbedaan karena
kebangsaan, suku bangsa, negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan
keturunan tidak merupakan penghalang perkawinan” dan kemudian mendapat
perubahan, maka perkawinan beda agama tidak dimungkinkan (dilarang) di
Indonesia.M. Rasjidi dengan nada mengecam menyatakan bahwa kata “agama” dalam
pasal ini sengaja diselipkan sedemikian rupa, sehingga orang yang tidak teliti
dalam membacanya akan mengatakan bahwa pasal ini tidak bertentangan dengan
hukum Islam. Selain itu, Rasjidi juga menganggap bahwa RUU ini merupakan
kristenisasi terselubung karena menganggap hal yang dilarang Islam seolah
menjadi hal yang sudah biasa diterima oleh orang termasuk perkawinan antar
agama.Menyamakan perbedaan agama dengan perbedaan suku dan daerah asal sehingga
dianggap tidak menghalangi sahnya suatu perkawinan adalah merupakan hal yang
bertentangan dengan ajaran Islam sehingga RUU ini hanya menguntungkan satu
pihak saja yaitu misionaris.
Kedua, ada beberapa pasal yang dapat dijadikan
dasar dilarangnya perkawinan beda agama dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
yaitu pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 haruf (f). Dalam pasal 2 ayat (1)
dinyatakan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.Kemudian dalam penjelasannya
dinyatakan “Dengan perumusan pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di
luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan
Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi
golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau
tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini”. Bila pasal ini diperhatikan
secara cermat, maka dapat dipahami bahwa undang-undang menyerahkan kepada
masing-masing agama untuk menentukan cara-cara dan syarat-syarat pelaksanaan
perkawinan tersebut, disamping cara-cara dan syarat-syarat yang telah ditepkan
oleh negara. Jadi apakah suatu perkawinan dilarang atau tidak, atau apakah para
calon mempelai telah memenuhi syarat-syarat atau belum, maka disamping
tergantung kepada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 1
Tahun 1974, hal tersebut juga ditentukan oleh hukum agamanya masing-masing.
Dalam perspektif agama-agama di Indonesia, maka perkawinan beda agama tidak
dibenarkan karena tidak sesuai dengan hukum agama-agama yang diakui di
Indonesia. Argumentasi ini diperkuat oleh pasal 8 huruf (f) bahwa “perkawinan
dilarang antara dua orang yang ; mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau
peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin”.
Ketiga, merujuk kepada pasal
66 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa “Untuk
perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan
atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgelijks Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks
Ordonantie Chisten Indonesiers S. 1933 No 74), Peraturan Perkawinan Campuran
(Regeling op de gemegnde Huwelijken S. 1989 No. 158), dan peraturan-peraturan
lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang
ini, dinyatakan tidak berlaku”.
Dari ketentuan pasal 66 itu, jelas bahwa ketentuan-ketentuan GHR (STB.
1898/158) sebagaimana yang diungkapkan diawal juga tidak dapat
diberlakukan lagi karena di samping ketentuannya telah mendapat pengaturan
dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, GHR juga mengandung asas yang
bertentangan dengan asas keseimbangan hukum antara suami istri sebagaimana yang
dianut oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Selain itu, rumusan mengenai
perkawinan campuran dalam GHR berbeda dengan rumusan dalam pasal 57
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi “Yang dimaksud
dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua
orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu
pihak berkewarganegaraan Indonesia”.
Rumusan di atas membatasi diri hanya pada perkawinan antara warga negara
Indonesia dengan warga negara asing.Adapun perkawinan antara sesama warga
negara Indonesia yang tunduk kepada hukum yang berlainan, termasuk perkawinan
antar agama, tidak termasuk dalam lingkup batasan perkawinan campuran menurut
undang-undang ini.
Adapun perkawinan beda agama dalam Kompilasi Hukum Islam secara
ekspilisit dapat dilihat dari ketentuan empat pasal.
Pada pasal 40 KHI, dinyatakan: Dilarang melangsungkan perkawinan antara
seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
1. Karena wanita yang bersangutan masih terikat satu perkawinan dengan
pria lain.
2. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain.
3. Seorang wanita yang tidak beragama
Islam.
ü
Pasal 44 KHI;
”Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan
perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.”
ü
Pasal 61 KHI;
”Tidak sekufu tidak dapat
dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan kecuali tidak sekufu karena
perbedaan agama atau ikhtilaf al-din.
ü
Pasal 116 KHI;
Perceraian dapat
terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
1. Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi
pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebaginya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain
selama dua tahun berturut-turut tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di
luar kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara
(lima) tahun, atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak mendapat cacat badan
atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankannya sebagai suami atau
istri.
5.Antara suami dan istri terus menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
6. Suami melanggar taklik talak.
7. Peralihan agama atau murtad yang
menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Jika dilihat ketentuan peraturan yang ada dalam
batang tubuh Kompilasi Hukum Islam itu sendiri, pasal-pasal yang ada tidak
berada dalam satu Bab tertentu. Pasal 40 KHI dan juga Pasal 44 dimasukkan dalam
bab larangan kawin, sedangkan pasal 61 dimasukkan pada bab pencegahan
perkawinan, sementara itu, pasal 116 KHI berada pada bab putusnya perkawinan.
2.6 Peranan Pemerintah dalam Hal Pernikahan Beda Agama
Di Indonesia, pemerintah menyediakan dua
lembaga yang mencatat perkawinan, yakni Kantor Urusan Agama (KUA), terhadap
masyarakat yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil (KCS), terhadap masyarakat
yang beragama non Islam.
Masyarakat yang pluralistik seperti di
Indonesia, sangat mungkin terjadi perkawinan diantara dua orang pemeluk agama
yang berlainan. Beberapa diantara mereka yang mempunyai kelimpahan materi
mungkin tidak terlampau pusing karena bisa menikah di negara lain, namun
bagaimana yang kondisi ekonominya serba paspasan. Tentu ini menimbulkan suatu
masalah hukum
Ada dua cara dalam menyikapi perkawinan
beda agama ini: Pertama, salah satu pihak dapat melakukan perpindahan agama, namun
ini dapat berarti penyelundupan hukum, karena yang terjadi adalah hanya
menyiasati secara hukum ketentuan dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Namun setelah perkawinan berlangsung masing-masing pihak kembali memeluk
agamanya masing-masing. Cara ini sangat tidak disarankan.
Kedua, berdasarkan Putusan MA No 1400
K/Pdt/1986 Kantor Catatan Sipil diperkenankan untuk melangsungkan perkawinan
beda agama. Kasus ini bermula dari perkawinan yang hendak dicatatkan oleh Ani
Vonny Gani P (perempuan/Islam) dengan Petrus Hendrik Nelwan (laki-laki/Kristen).
Dalam putusannya MA menyatakan bahwa dengan pengajuan pencatatan perkawinan di
KCS maka Vonny telah tidak menghiraukan peraturan agama Islam tentang
Perkawinan dan karenanya harus dianggap bahwa ia menginginkan agar perkawinannya
tidak dilangsungkan menurut agama Islam. Dengan demikian, mereka berstatus
tidak beragama Islam, maka KCS harus melangsungkan perkawinan tersebut. Secara
a contrario maka KUA wajib melangsungkan perkawinannya, karena perempuan yang
beragama Nasrani tidak lagi menghiraukan statusnya yang beragama Nasrani. Oleh
karena itu melakukan penundukkan hukum secara jelas kepada seluruh Hukum Islam
yang terkait dengan perkawinan.
Dengan demikian,
dari semula pasangan yang berbeda agama
tidak perlu melakukan penyelundupan hukum dengan mengganti agama
untuk sementara, namun bisa melangsungkan perkawinan tanpa berpindah agama.
pada akhirnya pasangan
beda agama tetap bisa menikah dengan dua cara sesuai hukum masing-masing
agamanya. Misalnya, pasangan Islam-Kristen. Keduanya tetap bisa menikah dengan
cara Islam melalui akad nikah. Lalu dengan cara Kristen melalui pemberkatan. setelah
menikah mereka tetap bisa mencatatkan pernikahannya melalui Dinas Kependudukan
dan Pencatatan Sipil (DKPS) untuk mendapatkan kutipan akta nikah. Hanya saja,
pernikahan yang dilakukan secara non-Islam yang akan dicatatkan. Yakni Kristen,
Katolik, Buddha atau Khonghucu. Hindu melalui Parisada Hindu Dharma Indonesia sudah menolak nikah beda agama dalam
sidang MK.
meski yang dicatat hanya pernikahan
non-Islam, Kristen misalnya, tidak otomatis yang muslim menjadi Kristen. Begitu
juga sebaliknya. setelah berkeluarga, keduanya pun dapat mencantumkan identitas
agama masing-masing di kartu keluarga (KK) sesuai yang tersemat di KTP. Jadi
di KK nanti ada Islam, Kristen, dan seterusnya.
Kutipan
akta nikah dari DKPS itu status hukumnya sama dengan buku nikah yang
dikeluarkan KUA.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1.
Pernikahan beda agama adalah pernikahan yang
dilakukan oleh seorang pria dan wanita yang beda agama. Yaitu pernikahan antara
laki-laki non muslim dengan wanita muslimah, dan pernikahan antara laki-laki
muslim dengan wanita non muslim.
2. Hukum, tujuan, rukun dan
syarat pernikahan
Hukum pernikahan dengan melihat keadaan orang-orang tertentu antara
lain yaitu wajib, sunnah,
makruh, mubah dan haram.
Secara umum tujuan pernikahan menurut Islam adalah untuk memenuhi
hajat manusia (pria terhadap wanita atau sebaliknya) dalam rangka mewujudkan
rumah tangga yang bahagia, sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama Islam.
Rukun dan syarat pernikahan antara lain: calon suami, calon istri, wali nikah, saksi nikah, ijab dan Qobul.
3. Secara ringkas hukum
nikah beda agama bisa kita bagi menjadi demikian :
·
Laki-laki muslim
menikahi wanita ahli kitab hukumnya sah/boleh dilakukan.
·
Laki-laki muslim
menikahi wanita kafir bukan ahli kitab hukumnya haram.
·
Laki-laki ahli kitab menikahi wanita muslimah
hukumnya haram.
·
Laki-laki kafir bukan ahli kitab menikahi
wanita muslimah hukumnya haram.
4. Dampak pernikahan beda agama antara lain:
a. terjadi konflik antar keluarga. Orang tua
akan menolak pernikahan tersebut.
b. adanya konflik kepentingan dalam hal
pengasuhan anak. Seperti pemilihan kepercayaan yang harus dianut oleh anak.
c. persoalan administrasi
d. bukti nikah tidak dapat dicatat di kecamatan
meskipun telah menikah melalui “KUA swasta”.
5. a. Pernikahan
beda agama menurut UU Pernikahan No. 1 Tahun 1974 dapat disimpulkan bahwa tidak ada
perkawinan yang dilakukan di luar hukum agama dan kepercayaannya, sebab untuk
menentukan sah atau tidaknya perkawinan berdasarkan pada hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya.
b. MUI secara tegas melarang adanya perkawinan
berbeda agama. Keputusan Majelis Ulama Indonesia tahun 1980 yang ditanda
tangani oleh Prof. Dr. Hamka memfatwakan: (1) “Perkawinan wanita muslimah
dengan laki-laki non muslim adalah haram hukumnya.
c. menurut Kompilasi Hukum Islam sendiri lewat empat
pasal krusial yaitu pasal 40, 44, 61 dan 116 telah menjelaskan tentang dilarangnya
perkawinan beda agama.
6. pemerintah menyediakan dua lembaga yang mencatat perkawinan, yakni
Kantor Urusan Agama (KUA), terhadap masyarakat yang beragama Islam dan Kantor
Catatan Sipil (KCS), terhadap masyarakat yang beragama non Islam. Pasangan yang berbeda agama tidak perlu
melakukan penyelundupan hukum dengan mengganti agama untuk sementara, namun
bisa melangsungkan perkawinan tanpa berpindah agama.
pasangan beda agama tetap
bisa menikah dengan dua cara sesuai hukum masing-masing agamanya. Misalnya,
pasangan Islam-Kristen. Keduanya tetap bisa menikah dengan cara Islam melalui
akad nikah. Lalu dengan cara Kristen melalui pemberkatan. setelah menikah
mereka tetap bisa mencatatkan pernikahannya melalui Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil (DKPS) untuk mendapatkan kutipan akta nikah. Hanya saja,
pernikahan yang dilakukan secara non-Islam yang akan dicatatkan.
3.2
Saran
Dengan adanya
penjelasan mengenai perkawinan beda agama di atas, maka diharapkan supaya para
masyarakat khususnya bagi calon suami maupun isteri untuk sedini mungkin
menghindari perkawinan beda agama tersebut dan lebih memperdalam lagi ilmu
agama yang dianut supaya terhindar dari hasrat untuk kawin dengan berbeda
keyakinan. Karena pada prinsipnya Negara Indonesia belum ada pengaturannya
secara khusus dan tegas di dalam undang-undang perkawinan nasional. Untuk itu,
perkawinan beda agama hanya dapat menyebabkan kerugian yang lebih banyak daripada manfaat atau keuntungannya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Prof. DR. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam
di Indonesia: antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan,
Kencana, Jakarta, 2007.
2. Kurniawan, Beni. Manajemen Pernikahan; Tuntunan Bijak Bagi Pasangan Muda, Nasihat
Bijak untuk semua Keluarga, Jelajah Nusa, Tangerang , 2012.
3. core.ac.uk/download/pdf/11711019.pdf
4. 38.-Perkawinan-Beda-Agama.pdf
6. “Hukum Pernikahan Beda Agama (Islam dan Non
Muslim)”. 31 Maret 2013.
7. Tafsir al-Quran. “Surat Al-Baqarah [2:221] Seruan agar mumin TIDAK menikahi wanita musryik”. 27 November 2012.
8. Aldilah, Rhisky. “Hukum
Pernikahan Beda Agama Dalam Islam” . 2015 http://www.academia.edu/8189968/HUKUM_PERNIKAHAN_BEDA_AGAMA_DALAM_ISLAM
9. “Nikah Beda Agama Dalam
Perspektif Islam” . 2014 http://nikahbedaagama.org/nikah-beda-agama-dalam-persepektif-islam/
10. “Nikah Beda Agama Dalam Pandangan Hukum
Islam”. 2015. http://kuakecamatankarimun.blogspot.co.id/2013/08/nikah-beda-agama-dalam-pandangan-hukum.html
11. Syafieh. “ Pernikahan
Beda Agama Menurut Kompilasi Hukum Islam: Antara Tuntutan Normatif dan
Kepentingan Kemaslahatan”. 9 Juni 2013.
12. Ediyansyah, Rhodoy R.
“Hukum Nikah Beda Agama Dalam Islam”. 8 Juli 2015.
13. Madini, Tuwuh. “Hukum Islam Dalam Pernikahan Beda Agama”. 23 April
2015.
14. Syuhud, A. Fatih. “Pernikahan Beda Agama Dalam Islam”. 25 November
2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar